Luno

berdiri dan terus melangkah tanpa lelah...

Senin, 26 Mei 2014

Ku di sini

Stop redam amarahmu
 Namun jangan berlalu 
Hentikan tangismu 
Lenyapkan ragumu 
Yang selalu lupakan 
Semuanya t'lah termaafkan 
Tataplah hari baru 
Berlari bersamaku 
Jangan menyerah ku di sini 
Genggam erat tanganku
 Jangan sembunyi, ku di sini 
Genggam erat jiwaku..Ooo

Reff :Jangan menyerah ku di sini 
Genggam erat tanganku 
Jangan sembunyi ku di sini 
Genggam erat jiwaku
Lihat wajahku lagi
 Lihat wajahmu lagi 
Katakan cintamu 
Dan untuk selamanya 
Jangan menyerah ku di sini 
Genggam erat tanganmu 
Jangan sembunyi ku di sini 
Genggam erat jiwaku...

Reff :Jangan menyerah ku di sini.. 
Genggam erat tanganku 
Jangan sembunyi ku di sini 
Genggam erat jiwaku...

(Sherina)

Sabtu, 17 Mei 2014

Sebuah Wesel dan Pesan Singkat



“Mengapa dari tadi berdiri disitu, Luno?”

            Suara itu mengagetkanku. Ia melihatku dengan tatapan penuh tanda tanya. Aku tersenyum. Entah setiap mendengarkan lagu, melihat suatu benda, bahkan di suatu tempat, aku sering menemukan hal-hal baru yang mengantarkanku untuk mengenang masa lalu. Kenangan terkadang muncul dengan sendirinya, lewat perantara semuanya itu aku menjadi sering berimajinasi pun tersenyum sampai tertawa sendiri bahkan sampai menangis.

            “Aku ingat delapan tahun yang lalu, di tempat itu aku menemukan keluarga besarku.” ucapku dengan perasaan sedih campur aduk dengan senang. Aku hampir bingung untuk menuliskan sederetan hal-hal peristiwa yang pernah terjadi. Selama ini biasanya ingin sekedar aku simpan di dalam memory saja tanpa menuliskan disecarik kertas maupun di neetbok kesayangan. Tapi setelah aku pikir-pikir lebih baik memang harus ditulis, dengan begitu aku tidak mudah untuk melupakannya. Barangkali sekedar mampir untuk membacanya lagi dapat membantuku untuk mengingat lalu bernostalgia.

            “Di mana?, Jakarta?” tanyanya lagi.

         “Bukan, tepatnya di pondok pesantren. Di sana aku banyak menemukan berbagai macam hal, karakter, juga merasakan bagaimana rasanya kangen keluarga” masih saja aku memandangi secarik kertas kecil yang terpampang di papan informasi Fakultas.

            “Halah mulai lebay. Termasuk ketemu pacar bukan?” Ia menggodaku.

            “Tidak lah, beda lagi ceritanya. Ha ha ha” kita tertawa, lalu menuju ke kelas untuk mengikuti mata pelajaran berikutnya.
***
            Malam itu setelah selesai mengaji kitab di aula pondok pesantren seperti biasa aku berkumpul bersama teman-teman di dalam kamar. Terkadang kami bercerita tentang pelajaran sekolah, hafalan, bercanda dengan adik kelas, juga paling bahagia menyiapkan segala keperluan untuk pulang kampung. Memang saat itu yang dinanti adalah semacam liburan. Bagi kami diberi kesempatan untuk pulang kampung merupakan hadiah terindah dan mempunyai makna tersendiri. Karena bagaimanapun melihat kampung halaman sama seperti menginjak kenangan sebelum menetap bertahun-tahun di penjara suci itu.

            “Assalamu’alaikum Wr. Wb, dipanggil Lulus Novita dari kamar Laborat A diharap kedatangannya di kantor pondok, sekali lagi dipanggil Lulus Novita dari kamar Laborat A diharap kedatangannya di kantor pondok. Terimakasih, Wassalamu’alaikum Wr. Wb”

            Mendengar suara itu aku kaget. Aku berusaha memastikan apakah memang benar aku yang dipanggil. Sebab bagiku sangat menyedihkan ketika tiba-tiba namaku dipanggil pengurus pondok, termasuk dalam keperluan apa dan kenapa.

            “Iku serius namaku dipanggil?” tanyaku ketakutan

            “Iyo Mbak, namamu dipanggil. Hayo... dapat kasus ki mesti” jawab seorang temanku yang sengaja menakut-nakutiku.

            “Ojo ah,?”

            Aku keluar dari pintu kamar lalu memakai sandal jepit yang kebetulan mendapatkan bagian kaki kiri semua. Cukup geli melihatnya, berbagai macam model sandal jepit di depan kamar namun sama sekali tidak ada yang sepasang. Yang ada bagian kaki kiri namun dibagian kaki kanan warna sandal selalu tidak sama. istilahnya kami menamainya gosob. Karena memang di antara semua santri terkadang sering bertukar sandal bahkan memang sengaja mengambil sandal di antara satu dengan satu sama lain. Meski pada akhirnya kembali kepada empunya masing-masing entah waktu di aula selepas mengaji, atau yang lain. Ah sudahlah, lupakan sandal jepit.

            Jarak antara kamarku dengan kantor bisa dikatakan lumayan jauh ketimbang dengan kamar-kamar lain. Bahkan ada yang lebih jauh lagi. Saat itu kamarku memang berada di bagian belakang. Jadi ada beberapa bagian, kamar depan, kamar atas,  kamar tengah dan kamar belakang. aku berjalan menuju kantor pondok, di tengah-tengah perjalanan pikiranku kemana-mana. Sambil menyingsing sarung yang kukenakan, aku sedikit memikirkan apa yang sudah aku kerjakan dalam waktu sebulan ini.

            “Perasaan sebulan ini aku tidak melakukan kesalahan. Aku full ikut mengaji fajar dan malam, sholat berjamaah, tapi memang dua kali ini aku tidak setor hafalan juz amma. Mosok hanya gara-gara tidak setor hafalan aku ditakzir?. Ya Allah semoga baik-baik saja” tanyaku dalam hati.

            Sampai kantor pondok aku bertanya dengan salah satu pengurus yang kebetulan sedang membaca, aku masih ingat namanya mbak Kartini. Giginya gingsul dan memakai kaca mata. Aku ingat namanya karena memang nama ‘Kartini’ itu sendiri adalah nama pahlawan seorang  perempuan yang sering didengung-dengungkan dalam bentuk syair lagu. Semua orang tentu tidak asing mendengarnya.

            “Assalamu’alaikum” aku berdiri di bibir pintu

            “Wa’alaikum salam, Dek Lulus Novita nggih?”

            “Nggih mbak, tadi nama saya dipanggil kira-kira ada apa ya mbak?” tanyaku penasaran dengan hati tak enak.

             “Sini duduk dulu, ditunggu bentar ya” begitu pesannya, lalu aku lihat Ia keluar dari kantor.

            Aku pandangi seisi kantor dengan penuh perasaan sedih. Takut jika nantinya memang benar-benar dapat kasus yang aku sendiri justru tidak mengerti kesalahanku. Pikiranku lari ke rumah, wajah ibu, bapak, kakak tiba-tiba datang. Takut jika nanti mendapat kasus lalu diberikan dua pilihan, keluar dari sekolah dan pondok pesantren atau memilih tidak naik kelas. Bayanganku semakin menjadi.

            “Mbak tadi ditaruh mana e?, aku lupa” tanya mbak Kartini, sosok kedua orang pengurus pondok itu masuk kantor lalu mencari sesuatu.

            “Tadi tak taruh di Almari kok” jawab perempuan yang tubuhnya agak pendek dan gemuk, memakai sarung bergaris kotak-kotak berwarna kuning keemasan. Meski aku sendiri tidak tahu siapa namanya.

            “Bentar ya Dek, ditunggu” ucap mbak Kartini di depanku

            Aku garuk-garuk kepala. Bingung dan cemas. “iki maksud’e opo e?, nyari apa?,” tanyaku dalam hati. Memilih diam tanpa bertanya, karena aku memang sedang tidak ingin menggangu kedua orang itu.

            “Lha ini ketemu” kata mbak Kartini

            “Ini dek, dapat wesel. Dek Lulus asli dari Jakarta Timur nggih?”

            “Eh, mboten mbak, asli Blora tepatnya Cepu. Cuman ini ditransfer kakak yang sedang kerja di Jakarta sana. Oh ya Matur suwun nggih mbak”

            “Oh gitu, iya dek sama-sama”

            Perasaanku senang, senang dilain sisi ternyata mendapat kiriman bulanan, senang berikutnya karena tidak mendapat kasus. Aku berjalan menuju kamar, penuh perasaan lega selega-leganya. “Andai saja aku mendapat kasus, bagaimana perasaan kakak kalau dia tahu ya?. Sementara kakak sudah susah payah menyekolahkanku supaya agar aku menjadi adik yang baik dan pintar, juga penurut. Aku tidak bisa membayangkan wajah kakak kalau lagi marah, apalagi kecewa” kupandangi secarik kertas di tanganku yang  bernama wesel, lalu tertulis dalam note “Jaga kesehatan ya, jangan lupa membaca dan berdoa” aku tersenyum membaca pesan singkat itu, dengan tidak terasa tiba-tiba air mataku terjatuh.