Luno

berdiri dan terus melangkah tanpa lelah...

Kamis, 30 Mei 2013

Ketika Mahasiswa dihipnotis Google


Sudah tidak dihiraukan lagi. Perkembangan yang begitu sangat pekat di era zaman sekarang ini membuat manusia untuk selalu  up date tentang kecanggihan dibidang teknologi, terutama dalam hal internet. Internet merupakan tutor yang sangat handal dalam memberikan dampak positif dan negatif. Manusia dengan cepat bisa mendapatkan informasi juga  menjadikan sebuah media edukasi yang memberikan ilmu pengetahuan tanpa batas. Yang sangat disayangkan, internet ini mudah ditemukan dari berbagai kalangan, terutama mahasiswa. Hanya saja terkadang mahasiswa memanfaatkan dengan cara yang tidak layak. Jika dinilai negatif, internet dapat mempengaruhi pola pikir dan berkecenderungan untuk memilih mencari data di internet dari pada membuka buku.
            Padahal secara akademisi, mahasiswa dituntut untuk menjadi lebih produktif dalam mengembangkan ilmu pengetahuannya dengan cara membudayakan membaca. Mahasiswa sekarang lebih dininabobokkan dengan alat-alat teknologi canggih, sehingga rasa malas itu sering menguasai dan lebih mengambil strategi lain untuk menyelesaikan apa yang tengah ia kerjakan. Contoh kecil saja dalam mengerjakan tugas, mahasiswa lebih condong memanfaatkan Google sebagai jalan pintas untuk menyelesaikan tugasnya itu. Jika dibiarkan maka yang terjadi adalah kerugian besar sepanjang hidupnya dalam mengenyam bangku kuliah, Di antaranya sikap kritis mahasiswa akan semakin memudar dan terkikis dengan perlahan, memberikan dampak kerugian pada diri sendiri akibat kurangnya membaca dan akan selalu “manut” dalam sistem yang sudah diberikan.
            Dalam perjalanan pembelajaran mahasiswa sekarang lebih cenderung memilih cepat-instan dan akurat karena pengaruh arus modernisasi dikalangan mahasiswa. Mahasiswa seolah lebih mengedepankan gaya hidup yang modern. Jika dibandingkan dengan zaman terdahulu mahasiswa sekarang mudah ditaklukan dengan teknologi serba canggih. Perkembangan yang semakin berjalan membantu untuk melumpuhkan kinerja otak dalam berpikir. Ini menjadikan mahasiswa menjadi apatis dan membodohi diri sendiri. Hal seperti inilah yang memicu mahasiswa lebih memilih menggunakan google sebagai penyelamat ketimbang memilih belajar di perpustakaan. Itu pun memilih belajar ke perpustakaan hanya mencari data dalam membuat skripsi dan mengerjakan tugas.
Membudayakan membaca
            Pepatah pernah mengatakan buku adalah jendela di dunia. Mengapa demikian?. Karena buku merupakan sebuah ilmu pengetahuan yang mengupas secara mendalam. Jika kita bandingkan dengan media massa lain khususnya seperti televisi dan internet.  Buku dapat memberikan celah dan penjelasan secara terperinci atau detail, Juga bisa menjadikan bahan refleksi. Mengingat dalam segi informasi dan ilmu pengetahuan media massa seperti televisi dan internet hanya dapat memberikan penjelasan sekilas, atau terbentuk dari opini-opini saja. Tanpa memberikan penjelasan secara luas.
            Menurut Syarifudin Yunus penulis buku jurnalistik; berpikir adalah pekerjaan berat, tetapi menjadi usaha yang bernilai. Kebanyakan kita lebih senang bertindak dan berbuat dari pada berpikir. Sekalipun berpikir menjadi pekerjaan yang berat, tetapi yakinlah suatu saat nanti akan menjadi usaha yang bernilai. Berilah ruang bagi pikiran untuk menjadi landasan dari setiap tindakan yang kita lakukan.
            Seperti apa yang dikatakan oleh seorang filsuf perancis pada tahun 1619; Rene Descartes; “cogito ergo sum”  (aku berpikir maka aku ada). Para pemikir-pemikir pada saat itu mengembangkan ide sebagaimana dalam melakukan suatu hal yang dianggapnya memicu untuk lebih mengeksplor ide-ide mereka. Bahkan tidak berhenti pada saat itu, Kini konsepsi seperti itu mengembang ke arah akademisi, tak terkecuali mahasiswa. Tentu mereka para mahasiswa dituntut untuk mengembangkan pemikiran-pemikiran demi memajukan kecerdasan bangsa, agar mahasiswa mempunyai peradaban yang lebih baik dan maju, tidak menghandalkan teknologi canggih yang bersifat kepuasan sementara.
            Mahasiswa merupakan kekuatan avan garda yang mampu memberikan pencerahan bagi ranah sosial. satu tindakan yang dapat merubah pola pikir mahasiswa menuju responsibility sebagai mahasiswa adalah menumbuhkan sikap kesadaran diri, agar plagiatisme tidak menjadi sasaran utama bagi mahasiswa. Harapan mahasiswa sebagai agen perubahan dapat menjadi mahasiswa yang produktif, humanis, dan Progesif, Supaya dapat merubah keadaan yang lebih baik bagi bangsa dan negara.

Jumat, 10 Mei 2013

Pakaian


            
Sore itu setelah hujan turun dan meninggalkan bekas, aku berjalan menghampiri teman-temanku di depan Gedung Multi Purpose dekat jalan raya di kampusku. Setelah selesai mengikuti jam perkuliahan, Kami seperti biasa berkumpul untuk sekedar membeli jajan ringan dan mengobrol. Aku memilih duduk di paling pinggir diantara mereka bertiga, di bawah pohon beringin yang besar, juga daunnya yang lebat. tempat yang pas untuk berteduh ketika hujan datang, atau ketika seusai hujan malah orang yang duduk di bawah pohon beringin bisa saja dijatuhi tetesan air dari pucuk daun, jika angin menabraknya.

            Aku berusaha menjadi pendengar yang baik. Mereka membicarakan tentang mata kuliah, dilanjut dengan keadaan di organisasi, cara mengajar dosen-dosen, dan yang terakhir tentang tugas-tugas yang membuatnya jenuh. Entah saat itu telingaku sekedar mendengar. namun kedua bola mataku tertuju seorang gadis berkerudung putih, berbaju putih plus berlengan panjang, serta bercelana hitam tak ketat. Sepertinya gadis itu sedang menunggu seseorang. Sebentar-bentar melirik jam di tangan kirinya yang Ia pakai. Pandangannya mencari sesuatu yang belum ditemukan. Jarak denganku tidak begitu jauh. Kira-kira tidak ada dua meter. Ia duduk di depanku. Kulihat Ia beranjak dan berjalan menghampiriku. Pandanganku segera berpindah melihat pedagang asongan di samping jalan. Supaya tidak menimbulkan kecurigaan.

            “permisi Mbak, maaf boleh nitip tas nggak?, saya mau ke kamar mandi sebentar. Nanti saya kesini lagi kok Mbak, lagi buru-buru.” Aku belum sempat menjawab, apalagi mengiyakan. Namun jari-jari tangan kananku sudah memegang tas ransel berwarna hitam miliknya dan jari-jari tangan kiriku memegang stopmap berwarna biru matang. Di cover itu bertuliskan “berkas lamaran pekerjaan.” Aku lihat sosok gadis itu sudah menghilang. Ah, mungkin karena aku duduk paling pinggir dan paling dekat, jadi memilih menitipkan tasnya langsung kepadaku.

            “punya siapa?,” tanya salah satu temanku yang duduk di sampingku.

            “kurang tahu, tadi ada perempuan yang nitip. Katanya mau ke belakang. Nanti juga kembali lagi.” Jawabku datar

            “jangan-jangan isinya bom” celetuk temanku yang satunya lagi sambil nyengir kuda.

            “kalau bom, kamu orang pertama yang aku lemparin tas ini” jawabku. suasana berubah menjadi ramai, kami tertawa kecil.

            Selang waktu sampai lima menit ku lihat gadis itu muncul dari kejauhan. Berjalan sambil membenarkan kerudungnya yang dirasakannya kurang nyaman. Perlahan mendekatiku.

            “makasih ya mbak, maaf sudah merepotkan” sambil menerima tas ransel dan stopmap berwarna biru matang dari genggaman tanganku.

            “iya Mbak, sama-sama” jawabku singkat

            “kuliah di sini Mbak?” melemparkan pertanyaan lagi

            “oh iya Mbak, Mbaknya juga?” kali ini aku yang bertanya

            “nggak Mbak, saya sedang mencari kerja. Kebetulan disuruh menunggu teman di sini”

            tiba-tiba aku seperti ada di dalam mimpi. Aku berusaha mengingat kembali mimpi itu. Tapi usahaku gagal. Terkadang aku pernah berbicara dengan orang ini, di tempat ini, mungkin hanya perasaanku saja. Batinku.

            Suasana tampak lengang, aku memperhatikan gadis yang dari tadi duduk di sampingku. Dan memandangi berkas lamaran pekerjaan yang ada di atas pangkuannya. Ia sibuk memencet keypad Handphonnya.

                                ***

            Aku jadi teringat masa laluku sendiri. Memakai kerudung putih, baju putih plus lengan panjang, juga celana tak ketat. Membawa tas ransel berwarna hitam yang menempel di punggungku. Waktu itu aku baru saja tamat dari bangku Madrasah Aliyah dan meninggalkan Pondok Pesantren di kota yang dikenal makanan khas nasi gandul itu. Aku pikir, aku akan melanjutkan ke jenjang bangku kuliah seperti teman-temanku yang sudah mengabariku atas diterimanya mereka di Universitas yang diimpikan. Dan mimpiku belum sama seperti mereka.

            Aku mulai belajar bersahabat lagi dengan lingkungan baru, hidup di kota metropolitan. Pagi yang cerah itu membuatku untuk berpetualang mencari pekerjaan. Di dalam tas sudah kusediakan surat lamaran serta persyaratan-persyaratan yang lain. Bersama saudara sepupuku laki-laki. Mengelilingi kota yang terkenal macet dan banjir. Pagi pukul tujuh aku harus siap-siap untuk memasuki kereta kelas ekonomi. Sesaknya bukan main. Dalam satu gerbong kereta yang kunaiki dipenuhi manusia-manusia yang berdesak-desakan. Aku seperti berada di dasar laut, lautan manusia. Belum lagi harus mempertahankan kakiku agar tidak tersingkir dari tempat. Karena sudah kehabisan tempat duduk, aku harus rela berdiri dan kedua tanganku harus bergelantungan.

            Aku mengira manusia-manusia akan habis setelah kereta berhenti dari stasiun satu ke stasiun yang lain. Ternyata nasib berkata lain. Manusia-manusia bukan berkurang banyak, justru masuk bertambah banyak. Mempertahankan anggota tubuh agar tidak dihempas gelombang manusia adalah pekerjaan yang melelahkan. Dan ini berlaku setiap hari. Berpetualang dua setengah bulan.

            "Jadi begini kerasnya hidup di kota metropolitan. Jadi begini rasanya mencari pekerjaan di kota besar. Jadi begini susahnya mencari uang. Jadi...," gumamku

            Waktu itu aku sempat minder dengan orang-orang yang sama  mencari pekerjaan. Kita dipertemukan di lokasi itu, dan terdapat berbagai banyak perbedaan. Terutama dari mana asal sekolah. Sekali-kali aku memandangi ijazahku. “Aliyah, dan dari pondok pesantren.” Aku terdiam. Mereka tidak ada yang sepertiku. Mereka justru ada yang dari lulusan Universitas lain. Aku hanya bisa tertunduk lemas, perlahan menelan ludah.

            Setelah menempuh perjalanan dari Bogor ke Manggarai, lanjut naik angkot, belum lagi naik Buaway. Hari-hari berikutnya ke Pasar Minggu, Blok M, Depok, Tebet, dan yang terakhir melamar pekerjaan di Bekasi. Tempat yang paling jauh dan berbeda jalur dengan yang lain. Mencari informasi dan berbagi informasi kepada orang yang sama-sama mencari pekerjaan. Biasanya dilakukan saat seusai tes wawancara. Kami saling tukar menukar nama dan tempat pekerjaan. atau jika ada waktu luang, aku membeli koran lowongan pekerjaan. malamnya harus membuat jadwal untuk mencari pekerjaan hari esok.

            Menunggu panggilan pekerjaan memang sangat membosankan. Menunggu sangat lama. Hampir dua bulan setengah tidak ada kabar. Berdo’a, berdo’a, dan terus berdo’a.

            “Brakkk,” kubanting pintu kamar mandi. Kubuka kerudungku, ku biarkan air mataku meleleh. Tak sanggup menahan letih pada anggota tubuhku, jengkel, sekaligus marah.

            “aku lelah, aku ingin pulang. Aku benci keadaan ini” sambil mengusap air mata.
            Setelah itu keluar dari kamar mandi. Sementara itu selama masih mencari pekerjaan aku hidup bersama saudara perempuanku. Mengetahui kedua bola mataku memerah, dia menasehatiku;

            “beginilah kerasnya hidup, kamu jangan pantang menyerah. Perempuan harus tegar. Kamu sudah dewasa. Nggak boleh cengeng, Masih banyak orang-orang yang tidak seberuntung kamu. Hidup di jalanan. harus bersyukur, sabar.” Dengan nada rendah, saudara perempuanku memperlihatkan senyumnya, sambil menata buku di rak. Tak kuasa air mataku jatuh.

            Entah malamnya,  ini sebuah keajaiban atau memang doaku dikabulkan sudah dikabulkan olehNya. Aku diterima disalah satu perusahaan yang ada di Bekasi. Setelah itu pekerjaan lain menungguku.

            “dua bulan setengah menanti panggilan pekerjaan. Setelah satu panggilan datang, panggilan lain menyerbu. Terimakasih Tuhan.”

              ***

            “ada apa dengan penampilanku Mbak?, aneh ya?,” gadis itu mengagetkanku”.

            “oh nggak Mbak, saya hanya teringat dulu saya pernah memakai pakaian seperti ini” jari telunjukku tiba-tiba menunjuk celana hitam yang dipakai, gerak refleks. dan keperlihatkan senyumku.

           “gitu ya Mbak, duh teman saya sudah datang Mbak. Saya pamit dulu. Maaf mbak tadi ngrepoti.” Gadis itu berdiri menyalamiku.

           “nggak apa-apa Mbak, hehe.” jawabku

           “saya pergi dulu ya Mbak, Assalamu’alaikum”

           “wa’alaikum salam”

Tubuhnya semakin hilang dari penglihatanku. Aku senyum sendiri. Mengingat masa lalu. Membayangkan lagi aku memakai pakaian seperti itu. “kenapa tadi aku tidak bertanya nama dan nomor handphonnya?, siapa tahu aku bisa membantu. Seperti dulu aku selalu mengharapkan untuk mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya dari orang lain, dan berharap ada sebuah pertanyan “boleh minta nomor yang bisa dihubungi?, siapa tahu nanti kalau ada pekerjaan saya kabari”. :D


Djogja, 26 Januari 2012


tempoe doeloe ^_^

Usaha Kerupuk yang Tak Lekang oleh Waktu


Siang itu, kesibukan tampak terlihat di rumah berdinding bambu dan berlantai tanah milik Sakiyem, 75 tahun, Selasa (5/2). Bersama suaminya, Wagimin (85), Sakiyem hilir mudik keluar masuk rumah mengangkut kerupuk yang berwarna merah dan putih dengan tumbu (bakul yang terbuat dari bambu) ke dalam rumah.
Wagimin mengumpulkan kerupuk yang sudah mulai mengering, yang terhampar di terpal plastik, sementara Sakiyem mengangkat kerupuk ke dalam rumah. Dan kadang sebaliknya. Mereka bergantian menjalankan tugas siang itu. Mereka berdua tak berhenti sejenak pun, karena awan tebal sudah menggantung pertanda hujan akan segera turun.
Sebulan terakhir, menurut Sakiyem, di atas pukul satu siang hari kawasan Desa Tanjung, Kecamatan Kedungtuban, Kabupaten Blora, Jawa Tengah, selalu turun hujan. Sehingga pengeringan kerupuknya mengalami sedikit kendala.
“Nek sak bendinane udan terus, yo kerupuk susah kering (Kalau tiap hari hujan, ya kerupuk susah kering),” kata perempuan asli daerah setempat, Selasa (5/2).
Rumah Sakiyem tak luas, hanya sekitar 7x9 meter. Namun, meski tak luas, menurut Sakiyem, rumah yang hanya ditempati berdua bersama suaminya ini cukup lega. Rumah disekat menjadi satu ruang tidur, satu ruang penyimpanan barang, dapur untuk menggoreng kerupuk, dan ruang tamu yang sekaligus digunakan untuk membuat kerupuk. Sakiyem dan Wagimin tak memiliki anak. Mereka juga tak mencoba mengadopsi anak saudara seperti keluarga kebanyakan. Sakiyem punya alasan mengapa tak mengadopsi anak, pasalnya ia tak ingin memisahkan anak dari ibu dan keluarganya. Jadilah ia tetap memutuskan hidup bedua saja dengan suaminya sejak pernikahannya pada 1955.
Sakiyem dan Wagimin bukan sosok yang mudah menyerah.Meski dilahirkan bukan sebagai orang mampu secara ekonomi, keduanya tak menyesali hidup apalagi menyalahkan orang tua. Sakiyem dan Wagimin muda adalah anak seorang buruh tani. Namun, pertanian masing-masing keluarganya tak membuat kehidupan keluarga membaik. Setelah menikah, mereka memutuskan membuat usaha sendiri, mengolah tepung ketela menjadi kerupuk tayamum atau warga di daerah setempat menyebut kerupuk upil. Disebut kerupuk tayamum atau kerupuk upil karena pengolahannya digoreng dengan pasir.
Saat itu, kata Sakiyem, jumlah pasokan ketela lumayan banyak, karena pekarangan maupun kebun milik warga kebanyakan ditanami singkong. Dan ketela hanya dimasak dengan cara sederhana yakni direbus atau dibakar. Wagimin lah yang bertugas mencari ketela di rumah-rumah warga. Dengan sepeda ontel (sepeda kayuh), sepulang dari pasar Wagimin akan menyisir rumah-rumah warga. Dalam sehari, dia bersama istrinya bisa mengolah dua karung ketela, dan terus bertambah menjadi lima sampai sepuluh karung.
Tetangga mereka sebagian besar juga memiliki usaha yang sama. Namun, usaha kerupuk yang masih bertahan hingga kini hanyalah milik Sakiyem-Wagimin.
“Podo bangkrut. Untunge ambek modal ora sebanding (Pada bangkrut. Antara untung sama modalnya tak sebanding),” ujar Sakiyem yang memulai usaha di usia 20 tahun. Mengolah kerupuk tayamum tak sederhana. Karena ketela mesti ditumbuk dan disaring untuk diambil sari patinya. Setelah itu Sakiyem beserta Wagimin membumbui sari ketela dengan adonan bawang putih, ketumbar, dan garam. Setelah dibumbui dan diaduk rata sampai kenyal (dalam bahasa Jawa diuleni), sari ketela dibentuk bulatan panjang sebesar lengan tangan orang dewasa, lalu dimasak. Setelah matang, tepung berbentuk bulatan panjang didinginkan, diiris tipis dan dikeringkan. Setelah kering kerupuk siap digoreng dan dibungkus dalam plastik berukuran seperempat. Pada tahun 90-an, kerupuk dalam kemasan plastic seperempat dijual Rp25. Namun, kini Sakiyem tak lagi menjual kerupuk dengan kemasan kecil. Melainkan mengemasinya dengan ukuran plastic ukuran setengah kilogram dengan harga Rp5.000 per bungkus.
Usahanya hingga kini berjalan lancar. Bahkan dari hasil jerih payahnya, ia dan suaminya bisa menabung. Sisa uang yang ia tabungkan ia putar untuk modal membeli bahan ketela seharga
Rp 500 ribu. Setiap hari pasaran, Sakiyem dan suami bisa mendapat untung Rp 50.000- Rp75.000. (Hari pasaran dihitung berdasarkan penghitungan Jawa (pon, kliwon-Pasar Wado, Legi, Wage-Pasar Kedugtuban).
Berjuang Usia Renta Mata Sakiyem, 75 tahun, cekung. Tulang pipinya terlihat menonjol dan rambut di kepalanya telah memutih. Begitu juga Wagimin (85) suaminya. Kantung matanya terlihat menggelembung dan tubuhnya terlihat ringkih. Kini keduanya terlihat renta.
Namun, kondisi tubuh keduanya tak menyurutkan semangat pasangan suami istri yang memiliki usaha pengolahan kerupuk upil atau kerupuk tayamum-kerupuk yang familiar di kawasan kecamatan Kedungtuban, Blora, Jawa Tengah ini, Setiap pasaran (Pasar Wado-ada setiap penanggalan Jawa:pon dan kliwon, Pasar Kedungtuban –ada setiap Wage dan Legi), Wagimin dan Sakiyem menyusuri jalan, mengayuh sepeda ontel sejauh 3-5 kilometer. Mereka berboncengan. Karena Sakiyem tidak bisa mengayuh sepeda. Pada boncengan Wagimin tak hanya membawa Sakiyem, tapi juga kerupuk yang ia bungkus dalam sebuah plastik besar yang ia tali di boncengan bagian kanan, samping Sakiyem duduk. Mereka berangkat setelah azan subuh berkumandang dan pulang sekitar pukul 10.00 WIB.
Mereka selalu terlihat berdua saat berangkatnya juga pulang dari pasar. Berjualan kerupuk di pasar dengan mengayuh sepedah mereka lakukan sejak tahun 1958. Pada 2011, karena tubuh Wagimin yang sudah mulai ringkih dan tak mampu membonceng Sakiyem dan membawa seplastik besar kerupuk, mereka membeli sepeda motor. Kini, Wagimin tak lagi mampu mengayuh sepedah, juga menemani istrinya berjualan di pasar. Setiap hari, Sakiyem diantar tetangga ke pasar menggunakan sepeda motor yang mereka beli.
Kini, Sakiyemlah yang menjadi tulang punggung keluarga. Di usianya yang telah renta, ia mesti berjuang seorang diri mencari nafkah untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Menembus dingin di pagi hari dan duduk di antara kerumunan orang di pasar menjajakan dagangan. Wagimin, yang sering sakit-sakitan tak lagi sekuat beberapa tahun lalu. Ia hanya bisa membantu mengolah kerupuk di rumah.