Luno

berdiri dan terus melangkah tanpa lelah...

Jumat, 28 Juni 2013

Merindukanmu saat menjelang senja hilang


Sore sebelum senja datang aku putuskan untuk pergi keluar kos. Ada rasa jenuh ketika aku duduk memandangi monitor, menulis lagi catatan-catatan kecil atau sekedar mengerjakan tugas, tidak lupa sambil mampir di dunia timeline untuk mengusir kebosanan. Setelah itu mengeclose beberapa dokumen dan langsung aku matikan monitor yang ada di depan mata. Aku mengerti jenis barang satu-satunya ini adalah sahabat yang selalu ada di saat aku butuhkan, tidak terlepas dari itu barang ini sekaligus yang membuat aku merasa bosan karena harus bercumbu dengan beberapa banyak tugas. Sehingga mau tidak mau membuka dan menutupnya lagi, ah... menggemaskan!

Sejenak ku rebahkan tubuhku di atas kasur. Memandangi atap yang masih saja terlihat kusam, juga lampu penerang sebagai penghias. Pandangan mata ini berpindah di sudut kamar, kupandangi kalender yang terletak di atas almari yang tingginya hampir sepundakku yang angka-angkanya tidak begitu terlihat dari kejauhan. kira-kira tidak ada satu meter. Mungkin karena angkanya yang terlalu kekecil-kecil. Anggap saja begitu, bukan kedua bola mataku yang lagi minus. :D

Lantas setelah itu aku beranjak dan memutuskan untuk pergi ke suatu tempat. Entah yang ada di dalam pikiranku, aku hanya ingin pergi. Tanpa aku pikir panjang ingin pergi ketempat ini atau itu. mengambil jaket, dompet dan tas berwarna hitam kesayanganku.

Berjalan dengan santai menuju celter, sendirian. Kira-kira tidak ada dua puluh menit kalau berjalan dari tempat tinggalku yang mungil ini. Masuk ke dalam celter dan menunggu busway datang. Tidak tahu mengapa aku mengambil jurusan arah Malioboro. ah, yang penting nanti kalau ingin turun, turun saja sesuka hati.
Kali ini aku tidak membawa buku satupun. Melihat mata ini jenuh melihat tulisan. Padahal jika pergi ke suatu tempat tidak lupa membawa buku untuk menemani perjalananku, Seperti novel atau bahkan komik. Ah, aku jadi teringat saudara perempuanku. Dia selalu mengajariku membawa buku untuk dibaca di saat dalam perjalanan. Katanya “dari pada melongo lebih baik baca buku” melempari aku buku yang tebalnya hampir dua ratus halaman, dan aku tangkap. Hap! Langsung aku baca seketika di dalam kereta.

Sepanjang perjalanan di dalam busway aku duduk melihat pemandangan apa saja yang terlihat di balik kaca jendela. “Jogja,” gumamku. “mengapa aku bisa sampai disini ya?” membatin sambil tersenyum. “yang jelas hari ini aku seperti orang hilang.”

Ada beberapa orang keluar masuk busway, salah satunya aku sendiri. Aku memilih turun halte yang dekat dengan Malioboro. Suasana di Malioboro masih saja ramai. Aku berjalan sambil melihat beberapa banyak penjual yang menghiasi pinggiran jalan Malioboro. Terutama aku lebih suka melihat musisi jalanan memainkan alat musiknya, ada keroncong dan gamelan. Kuambil koin dari sakuku, menaruhnya di tempat pembuangan uang yang sudah disediakan oleh mereka. Banyak juga kutemukan turis-turis di tempat ini.

Meneruskan perjalananku lagi, untuk kesekian kalinya aku paling tidak tahan melihat nenek-nenek yang berjualan buah salak. Entah karena aku terlalu cengeng melihat perempuan yang seharusnya sudah beristirahat di dalam rumah, kini duduk menawarkan harga kepada setiap orang lewat dan selalu berharap ada orang yang membeli buahnya. Bukan karena kasihan, hanya saja tidak sanggup membendung air mataku ini karena bahagia melihat mereka bekerja keras dengan usianya itu.

“kira-kira senyum mereka itu karena keterpaksaan demi merubah nasib, ataukah memang sudah nyaman dengan apa yang dilakukannya ya?,” gumamku. Aku sendiri pernah merasakan bagaimana menjadi seorang penjual. Yah, dulu aku sempat menjual es degan di perempatan kota Cilebut, tepatnya dekat stasiun Cilebut Bogor. Bersama seorang saudara sepupuku laki-laki, aku melakukannya dengan senang hati. Namun berlarut-larut aku merasakan kegundahan, “sampai kapan?” tanyaku dalam hati. Dalam waktu sebulan aku melakukannya, dari perumahan saudara perempuanku mendorong gerobak sampai berhenti dan menjualnya di samping toko besar yang berjualan perabotan rumah tangga.

Semula aku tidak bisa membayangkan ini terjadi. Dalam waktu satu bulan itu kebetulan bertepatan dengan bulan puasa. Dulu memang saudara sepupuku ini sudah berjualan, menjual roti bakar dan jagung bakar. Semenjak aku ada di rumah saudara perempuanku itu, aku ikut berjualan dengan sepupuku. Ini pengalaman pertama setelah aku dikurung di dalam pondok pesantren selama tiga tahun. Aku bisa merasakan menjadi penjual, sekaligus berani mengambil resiko. Tidak mudah memang, terkadang masih ada orang yang menawar harga, meski harga sudah ditentukan. Namun, kita masih mau melayaninya, dengan niat beribadah dan tidak berpikir untung banyak. Kita berjalan dengan pelan, melewati proses yang berkepanjangan. Bertemu dengan pembeli yang beragam tipe karakter, jadi harus mengikuti apa yang menjadi kemauannya. Ingin begini, ingin begitu. Sungguh melelahkan namun menyenangkan.

Awalnya rasa malu itu terus menggerogotiku. Namun jika dipikir-pikir, “untuk melakukan hal seperti ini tidak usah malu, selagi aku mau berusaha pasti ada jalan. Aku berani susah, pokoknya harus berani susah” kataku saat rasa malu itu datang, menyemangati diri sendiri. Maklum, di kota besar memang harus bermental baja, bukan bermental tempe. Dan ini untuk yang pertama kalinya!. Melakukan hal-hal terkecil, dan selalu ingin menciptakan sesuatu hal yang besar. Itu keinginan semua banyak orang, seperti diriku sendiri. Entahlah... masih banyak cerita di masa lalu itu. namun kadang aku belum sanggup untuk menceritakannya.

Melangkah dan menikmati padatnya jalan raya. Bisingnya suara kendaraan, debu-debu yang berterbangan, juga melihat wajah-wajah mereka yg mengendarai motor. Memilih untuk duduk di dekat pinggir jalan, kebetulan masih ada tempat duduk yang tersisa. Kali ini aku duduk terdiam dengan tatapan kosong. Ada sedikit yang aku renungkan. Yah, tentang kerinduan. Aku sedang merindukan kampung halamanku, Di mana tempat aku dilahirkan. Kepada perempuan yang bekerja keras demi ketiga anaknya. Juga seorang perempuan yg telah melahirkan perempuan pekerja keras itu. aku memanggilnya “mbok anang” nenekku yang sudah memanjakan aku. Juga ibu, yang sudah bersusah payah mencari nafkah dan menyekolahkanku. Mereka berdua perempuan hebat. Tidak tahu mengapa setiap kali melihat perempuan yang tengah ringkih dan mengaduh, rasanya air mata ini ingin segera keluar. Dan “apa yang mesti harus aku perbuat untuk mereka?.” Begitu pertanyaanku terkadang muncul jika aku merindukannya. Aku pernah mengecewakannya. Dan itu terasa seperti menelan brotowali atau mahoni.

Aku hanya teringat dengan do’a-do’a mereka, dan itu yang menjadi harapannya. Tahukah engkau Ibu dan Nenek?, “aku sangat merindukanmu, sangat. Aku akan berusaha untuk membuat kalian tersenyum.” Ucapku saat merasakan kedekatannya dalam bayang-bayang. Mungkin lebih baik aku pulang ke tempat mungilku itu. sementara senja sudah meninggalkan sore. Menapaki jalan berbelok dan mengikuti busway melaju. “semoga mereka diberikan kesehatan dan kesabaran.” do’aku dalam harap.

Malioboro-Jogja, Bulan Maret 2011


Selasa, 25 Juni 2013

Selembar Uang Kertas


Matahari menyengat kulit berwarna sawo matang. Dengan perlahan keringat di keningnya keluar, mengalir dengan cepat melewati pelipis hingga terjatuh membasahi baju yang Ia kenakan. Kedua bola matanya basah. Pandangan tetap tertuju ke depan. Kakinya dengan berat mengkayuh sepeda tua yang sudah berwarna hitam kusam. Bibir tebalnya berkomat-kamit membaca doa. Di sepanjang perjalanan yang ada di dalam benaknya hanya raut wajah seorang perempuan yang sudah membesarkan dirinya. Angin masih saja ramah menyapa rambutnya yang tidak terlihat rapi.
            “Bu, maafkan aku yang sudah menyakitimu,” ujarnya dengan pelan. Bulir-bulir air matanya terus keluar. Sementara kaki masih mengkayuh sepeda. Telapak tangan kirinya mengusap air mata.
            Sesampai tempat yang dituju, lelaki bertubuh tegap dan bermata sayu memarkirkan sepedahnya dan berjalan dengan tergesa-gesa menuju pusat informasi. Penglihatannya mencari sebuah nama yang terpampang di papan pengumuman daftar nama-nama pasien yang ada di rumah sakit. Jari telunjuknya kanan menyentuh papan nama, bergerak ke kanan, berada di bawah garis huruf.
            “Sumiyati, kamar 13 B,” ucapnya lirih. Berlari terbirit-birit. Tak sempat memperhatikan orang-orang yang ada di sekitar. Perkamar Ia fokus mencari nomor urut yang terdapat di muka pintu kamar.
            “12 C, 12 D, 13 A. Ibu...” kedua kakinya tiba-tiba gemetar, jantung serasa ingin meledak. Dilihatnya orang-orang bergerombol sedang berdiri didekat pintu kamar 13 B, disela-sela kerumunan orang terlihat seorang gadis duduk di dekat kursi depan kamar, menekuk tangan di depan dada dan menundukkan kepalanya.
            “Dek Ayuk,” memanggil adik kandungnya yang tengah terlihat lemas. Mengetahui kakaknya datang dan mendekatinya,
            “semua ini karena kamu Mas!, ini tidak akan terjadi kalau kamu tidak bersikap seperti itu kepada Ibu!” berteriak dengan lantang, menangis sesenggukan.
***
Bersama seorang Ibu dan adik satu-satunya, Arif menjalani hidup dengan kesibukan-kesibukan yang tengah ia kerjakan. Sebagai seorang petani yang rajin menggarap ladang warisan dari almarhum ayahnya, Ia menjadi tulang punggung bagi keluarganya. Waktu kecil Arif sering diajak almarhum Ayahnya pergi ke ladang. Dimusim apa saja ia belajar dari keuletan Ayahnya. Tentang menanam padi, menanam tembakau, menanam kacang tanah. Begitupun dengan hasil yang ia peroleh. Tentang rugi dan untung yang ia dapatkan. Namun semuanya itu tidak mempengaruhi semangat dan kerja kerasnya. Ia tetap melakukan dengan rajin.
Sang Ayah meninggalkannya saat berumur delapan belas tahun. Arif seharusnya sudah menamatkan bangku sekolah menengah atas. Namun Ia hanya ingin bekerja seperti Ayahnya, seorang yang dianggap menjadi pahlawan dalam hidupnya. Hanya Ayuk, adik kandung Arif satu-satunya, gadis yang masih belia yang diharapkan Ibunya untuk bisa menamatkan sekolah menengah atas, serta dapat melanjutkan lagi ke jenjang bangku perguruan tinggi.
Bagi Arif menginjakkan kakinya di ladang sama seperti melihat senyum almarhum Ayahnya waktu tengah bersamanya. Kenangan-kenangan yang baru saja dialami tidak bisa untuk dilupakan. Berkisar dalam waktu dua minggu senyum itu terlihat menyejukkan, Meski panasnya terik matahari membakar kulit, namun tenaganya tidak hilang dibakar sinar.
Pukul tujuh pagi Arif akan berangkat ke ladang untuk memupuk padi. Satu botol dengan isi delapan ratus ml berisi kopi kental dan sepiring ketela rebus sudah dipersiapkan untuk bekal sampai sore, Ditaruhnya di atas meja dapur.
“Mas, Ayuk ikut ke ladang ya. Hari ini lagi libur sekolah” Pinta Ayuk.
“Kamu itu seharusnya bantuin Ibu di rumah Dek, di ladang itu panas,” sambil membersihkan cangkulnya yang ditebali tanah kering, dengan menggunakan sabit.
“Ayolah Mas, boleh ya,” sanggahnya amat pelan, dengan wajah memelas.
“Kamu itu tetap saja keras kepala, iya.. meskipun aku tahu kamu itu ingin bemain dengan teman-temanmu.. hanya saja..”
“Hanya saja, kenapa?” sanggahnya lagi, keningnya mengkerut.
Ibunya tersenyum melihat mereka akrab. Senyum tipisnya membuat wajah perempuan yang berusia senja itu menjadi kian manis. Helaian rambut berwarna pirang selalu disanggul rapi. Seorang perempuan asli jawa yang dapat mengikat beberapa laki-laki, maklum sewaktu masih gadis dulu menjadi bunga desa. Dan kini sayangnya perempuan itu janda dan tidak ingin menikah lagi. Orang-orang di kampung memanggilnya Sumiyati.
“Ibu hari ini mau masak sayur apa,?” tanya Arif sembari mendekati Ibunya yang sedang berdiri di muka pintu dapur, sambil menatap isi dapur.
“Kamu pengennya mau dimasakin apa Le?”
“Terserah Ibu, semua masakan Ibu selalu enak,” jari-jari tangannya mulai mencari sesuatu, merogoh ke dalam saku lalu menyodorkan selembar kertas uang dua puluh ribu kepada Ibunya.
“Le, disimpan saja uangmu, siapa tahu kamu membutuhkannya,”
“Uang ini untuk berbelanja, kira-kira tiga hari lagi panen Bu. Aku hanya berharap Ibu tidak hutang sama Yu Samirah, aku tidak suka melihat Ibu hutang kepada siapapun orang. Kalau Ibu butuh uang lebih, Ibu bilang saja aku usahakan untuk mendapatkannya,” Menatap Ibunya lekat-lekat dengan penuh harap agar perempuan yang selama ini membesarkan dirinya tidak terlalu memikirkan dalam urusan hutang.
“Iya, Le. Ibu tidak akan hutang sama tetangga, apalagi Yu Samirah” membalas tatapan anaknya, sebagai isyarat untuk meyakinkan.
***
Cuaca terlihat mendung, Sumiati, buru-buru mengambil pakaian di jemuran. Sementara kedua anaknya masih di ladang. Wajahnya diliputi rasa kekhawatiran.
“Nduk, Le. Kalian kok belum pulang, sebentar lagi hujan,” gumamnya dalam hati. Duduk di teras depan yang beralaskan anyaman bambu.
Langit berubah menjadi gelap. Semilir angin mulai menggoyahkan sisa-sisa helaian rambutnya. Pandangannya mengarah ke ujung jalan, kekhawatiran ini pernah terjadi saat harapannya menanti sang suami pulang namun tak kunjung kembali. Deras hujan yang mengguyur pelosok desa membuatnya teringat akan kehilangan suami yang dicintainya. Sebuah motor yang dikendarai tetangganya tiba-tiba menghantam tubuh suaminya hingga nyawanya sudah tidak bisa diselamatkan. Itu sebabnya puncak kekhawatiran selalu hadir saat hujan turun.
Nampak dari kejauhan seorang perempuan berjalan tergesa-gesa. Kedua kakinya tanpa menggunakan alas kaki, memakai caping yang terbuat dari susunan jaun jati yang sudah kering, menutupi kepalanya agar tidak basah. Mendadak menghampiri Sumiati yang sedari tadi menunggu kedatangan anak-anaknya.
“Sum, sore ini aku butuh uang, kamu satu-satunya orang yang aku harapkan,” tangan keriputnya memegangi kedua tangan Sumiati, sambil duduk dan memohon dengan belas kasihan agar hati Sumiati tergoyah dan mampu menolongnya. Mendapati jari-jari tangannya yang tengah dingin, pandangan matanya yang sendu, juga wajahnya yang terlihat pucat pasi.
“Yu Samirah, hari ini aku tidak ada uang banyak. Tadi hanya dikasih anakku uang Dua Puluh Ribu, tiga hari lagi Yu pasti hutang aku bayar,” hujan semakin deras, langit semakin gelap, hati Sumiati mulai bergemuruh mendengar tetangganya datang menagih uang yang dipinjamnya. “duduk dulu Yu, aku buatkan teh hangat”  kaki Sumiati melangkah menuju ke dapur.
Angin dengan perlahan masuk disela-sela lubang kecil rumah yang berdinding bambu, berlantai tanah, dihiasi meja dan kursi yang terbuat dari pohon jati tua, kusam. Samirah mematung di ruang tamu yang berukuran 3x4 meter.
“Yu, kapan kesini, kok sendirian, lha Ibu di mana?,” tanya Arif yang baru saja tiba bersama adiknya, tubuhnya basah kuyup sembari mengambil cangkul yang melekat di atas pundaknya. Menghampiri tetangganya, Samirah dan mengajaknya bersalaman.
“Iya, baru saja rif. Ibumu ada di belakang,” memandangi arif, memperlihatkan senyumnya. “tadinya aku mau minta uang sama ibumu, sepertinya sedang tidak punya uang,”
“Ibu punya hutang lagi, Yu?” menatap wajah perempuan itu dengan hati merasa tidak enak.
Tidak lama kemudian Sumiati datang memberikan segelas teh hangat, ditaruhnya di atas meja dan menyuruh Samirah untuk meminumnya. Namun disisi lain terlihat ada rasa kekecewaan yang datang di hati kecil seorang anak laki-lakinya itu . Keningnya berkerut dan menyisakan rasa sesal.
“diminum Yu, nanti keburu dingin,” pinta Sumiati dengan suaranya yang lembut. Dalam dada sumiati berharap agar anak laki-lakinya tidak mengetahui perihal hutang yang selama ini disimpan sendiri dengan baik.
***
Suasana di dalam rumah tampak hening. Di ruang tamu, tak ada satupun orang yang membuka pembicaraan. Lidah Sumiyati kelu, hatinya selalu berdesir sangat cepat. Kedua anaknya hanya duduk terdiam. Sementara lampu teplok yang diletakkan di atas meja sangat memperjelas raut wajah anak laki-lakinya yang dari tadi terlihat muram.
“aku kecewa dengan Ibu. Aku kan sudah bilang, kalau Ibu butuh uang tolong bicara sama aku, jangan pinjam uang Yu Samirah. Ibu sendiri tahu kan Yu Samirah hidup sendirian tanpa ada yang membantu. Ditinggal suaminya, tidak punya anak.” Arif tiba-tiba langsung beranjak dari tempat duduk, berjalan menuju kamar tidur. Sedangkan adiknya mendekati ibunya yang tengah bersedih.
“Ibu, Mas Arif mungkin lagi kecapean, jadi terbawa emosi. Ibu istirahat saja ya, kata-kata Mas Arif  tadi jangan diambil hati,” berdiri di samping Ibunya, kedua tangannya memegangi pundak Ibunya. Dalam hati anak perempuan itu hanya berharap agar ibu yang dicintainya tidak tertekan mendengar kakak satu-satunya mengungkapkan perasaannya tadi, meski perkataannya dapat menggetarkan dada perempuan itu.
“sejak awal Ibu ingin berbicara jujur mengenai hutang nduk, namun Ibu kasihan kalau melihat Arif setiap hari bekerja seperti itu, melihat beban berat yang dipinggul. saat kematian bapakmu, Yu Samirah sengaja meminjamkan uangnya kepada Ibu untuk mengurus pemakamannya. Yu Samirah tentu pernah merasakan bagaimana saat dulu ditinggal suaminya. Dia berbicara sendiri waktu itu bingung harus mencari uang dari mana untuk mengurus pemakaman almarhum. Itu sebabnya ibu berani menerima tawarannya, sedangkan saat itu Ibu tidak memegang sama sekali. Ibu hanya berjanji sewaktu-waktu jika ada uang Ibu bayar. Setelah panen nanti Ibu akan melunasi hutang. Ibu sudah mengecewakan kalian”
Mendengar jawaban perempuan yang sudah sembilas belas tahun membesarkan dirinya, Ayuk segera memeluk erat.
“nggak Bu, kita yang tidak mengerti. maafkan Mas arif dan Ayuk ya Bu,”
***
Dalam sehari-hari Arif masih saja disibukkan dengan aktifitas pekerjaannya di ladang. Sesampai di rumah hanya istirahat dan memilih untuk berdiam diri di kamar tidurnya. Tidak seperti biasa terkadang mengajak Sumiyati berbicara panjang lebar mengenai perkembangan dalam menggarap ladangnya, juga mengiyakan adiknya untuk ikut membantu pekerjaan di ladang. Sumiyati selalu berharap anak lelakinya mau mengajaknya berbicara dan bercanda, selalu membayangkan.
Seisi rumah sunyi senyap. Malam bertabur bintang. Ayuk duduk di teras depan rumah. menatap gemerlap cahaya yang terlihat dari balik awan hitam. Cahaya yang sempurna. Sambil menunggu kedatangan Sumiyati yang sudah dua jam pergi meninggalkan rumah.
“Yuk, Ibumu Yuk,” suara itu datang mengagetkan hati perempuan yang tengah merindukan ketenangan. Seorang laki-laki lewat belakang rumah dan berjalan samping teras menghampirinya dengan nafas terengah-terengah seperti habis berlari panjang.
“Ibumu ditemukan pingsan di tengah jalan depan pintu makam, sekarang sudah dibawa ke rumah sakit.” Laki-laki itu membuat panik hati gadis yang tidak mempercayai kabar yang baru saja didengarnya.
“Kang, tolong antarkan aku ke sana sekarang,”
***

Dari balik jendela ruangan yang serba putih, Kedua bola mata yang dari tadi basah hanya bisa memandangi tubuh seorang perempuan, Ibunya. Bibir tipisnya sambil melantunkan doa, berharap agar ibunya segera membuka mata, setelah dua belas jam belum ada perkembangan. Dokter memvonisnya mengidap penyakit jantung.
“Dek, maafkan Mas. Mas sangat menyesal melakukan tindakan bodoh seperti ini. Mendiamkan Ibu berlarut-larut.” Sebelum melihat lelaki itu menangis, Ayuk pernah melihat air mata saudara kandungnya terjatuh ketika melihat almarhum Ayahnya dimasukkan ke dalam liang lahat.
“minta maaf kepada Ibu, Mas. Jangan kepadaku” jawabnya.

The end