Matahari menyengat kulit berwarna
sawo matang. Dengan perlahan keringat di keningnya keluar, mengalir dengan
cepat melewati pelipis hingga terjatuh membasahi baju yang Ia kenakan. Kedua
bola matanya basah. Pandangan tetap tertuju ke depan. Kakinya dengan berat
mengkayuh sepeda tua yang sudah berwarna hitam kusam. Bibir tebalnya
berkomat-kamit membaca doa. Di sepanjang
perjalanan yang ada di dalam benaknya hanya raut wajah seorang perempuan yang
sudah membesarkan dirinya. Angin masih saja ramah menyapa rambutnya yang tidak
terlihat rapi.
“Bu,
maafkan aku yang sudah menyakitimu,” ujarnya dengan pelan. Bulir-bulir air matanya
terus keluar. Sementara kaki masih
mengkayuh sepeda. Telapak tangan
kirinya mengusap air mata.
Sesampai
tempat yang dituju, lelaki bertubuh tegap dan bermata sayu memarkirkan
sepedahnya dan berjalan dengan tergesa-gesa menuju pusat informasi.
Penglihatannya mencari sebuah nama yang terpampang di papan pengumuman daftar
nama-nama pasien yang ada di rumah sakit. Jari telunjuknya kanan menyentuh
papan nama, bergerak ke kanan, berada di bawah garis huruf.
“Sumiyati,
kamar 13 B,” ucapnya lirih.
Berlari terbirit-birit. Tak sempat memperhatikan orang-orang yang ada di
sekitar. Perkamar Ia fokus mencari nomor urut yang terdapat di muka pintu
kamar.
“12
C, 12 D, 13 A. Ibu...” kedua kakinya tiba-tiba gemetar, jantung serasa ingin
meledak. Dilihatnya orang-orang bergerombol sedang berdiri didekat pintu kamar
13 B, disela-sela kerumunan orang terlihat seorang gadis duduk di dekat kursi
depan kamar, menekuk tangan di depan dada dan menundukkan kepalanya.
“Dek
Ayuk,” memanggil adik kandungnya yang tengah terlihat lemas. Mengetahui
kakaknya datang dan mendekatinya,
“semua
ini karena kamu Mas!, ini tidak akan terjadi kalau kamu tidak bersikap seperti
itu kepada Ibu!” berteriak dengan lantang, menangis sesenggukan.
***
Bersama seorang Ibu
dan adik satu-satunya, Arif menjalani hidup dengan kesibukan-kesibukan yang
tengah ia kerjakan. Sebagai seorang petani yang rajin menggarap ladang warisan
dari almarhum ayahnya, Ia menjadi tulang punggung bagi keluarganya. Waktu kecil
Arif sering diajak almarhum Ayahnya pergi ke ladang. Dimusim apa saja ia
belajar dari keuletan Ayahnya. Tentang menanam padi, menanam tembakau, menanam
kacang tanah. Begitupun dengan hasil yang ia peroleh. Tentang rugi dan untung
yang ia dapatkan. Namun semuanya itu tidak mempengaruhi semangat dan kerja
kerasnya. Ia tetap melakukan dengan rajin.
Sang Ayah
meninggalkannya saat berumur delapan belas tahun. Arif
seharusnya sudah
menamatkan bangku sekolah menengah atas. Namun Ia hanya ingin bekerja seperti Ayahnya,
seorang yang dianggap menjadi pahlawan dalam hidupnya. Hanya Ayuk, adik
kandung Arif satu-satunya,
gadis yang masih belia yang diharapkan Ibunya untuk bisa menamatkan sekolah
menengah atas, serta dapat melanjutkan lagi ke jenjang bangku perguruan tinggi.
Bagi Arif
menginjakkan kakinya di ladang sama seperti melihat senyum almarhum Ayahnya
waktu tengah bersamanya. Kenangan-kenangan yang baru saja dialami tidak bisa
untuk dilupakan. Berkisar dalam waktu dua minggu senyum itu terlihat menyejukkan,
Meski panasnya terik matahari membakar kulit, namun tenaganya tidak hilang
dibakar sinar.
Pukul tujuh pagi Arif
akan berangkat ke ladang untuk memupuk padi. Satu botol dengan isi delapan
ratus ml berisi kopi kental dan sepiring ketela rebus sudah dipersiapkan untuk
bekal sampai sore, Ditaruhnya di atas meja dapur.
“Mas, Ayuk ikut ke
ladang ya. Hari ini lagi libur sekolah” Pinta Ayuk.
“Kamu itu seharusnya
bantuin Ibu di rumah Dek, di ladang itu panas,” sambil membersihkan cangkulnya
yang ditebali tanah kering, dengan menggunakan sabit.
“Ayolah Mas, boleh
ya,” sanggahnya amat pelan,
dengan wajah memelas.
“Kamu itu tetap saja
keras kepala, iya.. meskipun aku tahu kamu itu ingin bemain dengan teman-temanmu..
hanya saja..”
“Hanya saja, kenapa?”
sanggahnya lagi, keningnya mengkerut.
Ibunya tersenyum melihat mereka akrab. Senyum tipisnya membuat wajah
perempuan yang berusia senja itu menjadi kian manis. Helaian rambut berwarna
pirang selalu disanggul rapi.
Seorang perempuan
asli jawa yang dapat mengikat beberapa laki-laki, maklum sewaktu masih gadis dulu
menjadi bunga desa. Dan kini sayangnya perempuan itu janda dan tidak ingin menikah
lagi. Orang-orang di
kampung memanggilnya Sumiyati.
“Ibu hari ini mau masak sayur
apa,?”
tanya Arif sembari
mendekati Ibunya
yang sedang berdiri di muka pintu dapur,
sambil menatap isi dapur.
“Kamu pengennya mau
dimasakin apa Le?”
“Terserah Ibu, semua
masakan Ibu selalu enak,” jari-jari tangannya mulai mencari sesuatu, merogoh ke
dalam saku lalu menyodorkan selembar kertas uang dua puluh ribu kepada Ibunya.
“Le, disimpan saja
uangmu, siapa tahu kamu membutuhkannya,”
“Uang ini untuk
berbelanja, kira-kira tiga hari lagi panen Bu. Aku hanya berharap Ibu tidak
hutang sama Yu Samirah, aku tidak suka melihat Ibu hutang kepada siapapun
orang. Kalau Ibu butuh uang lebih, Ibu bilang saja aku usahakan untuk
mendapatkannya,” Menatap Ibunya lekat-lekat dengan penuh harap agar perempuan
yang selama ini membesarkan dirinya tidak terlalu memikirkan dalam urusan
hutang.
“Iya, Le. Ibu tidak
akan hutang sama tetangga, apalagi Yu Samirah” membalas tatapan anaknya,
sebagai isyarat untuk meyakinkan.
***
Cuaca terlihat
mendung, Sumiati, buru-buru mengambil pakaian di jemuran. Sementara kedua
anaknya masih di ladang. Wajahnya diliputi rasa kekhawatiran.
“Nduk, Le. Kalian kok
belum pulang, sebentar lagi hujan,” gumamnya dalam hati. Duduk di teras depan
yang beralaskan anyaman bambu.
Langit berubah
menjadi gelap. Semilir angin mulai menggoyahkan sisa-sisa helaian rambutnya. Pandangannya
mengarah ke ujung jalan, kekhawatiran ini pernah terjadi saat harapannya
menanti sang suami pulang namun tak kunjung kembali. Deras hujan yang mengguyur
pelosok desa membuatnya teringat akan kehilangan suami yang dicintainya. Sebuah
motor yang dikendarai tetangganya tiba-tiba menghantam tubuh suaminya hingga
nyawanya sudah tidak bisa diselamatkan. Itu sebabnya puncak kekhawatiran selalu
hadir saat hujan turun.
Nampak dari kejauhan seorang
perempuan berjalan tergesa-gesa. Kedua kakinya tanpa menggunakan alas kaki,
memakai caping yang terbuat dari susunan jaun jati yang sudah kering, menutupi
kepalanya agar tidak basah. Mendadak menghampiri Sumiati yang sedari tadi
menunggu kedatangan anak-anaknya.
“Sum, sore ini aku
butuh uang, kamu satu-satunya orang yang aku harapkan,” tangan keriputnya memegangi
kedua tangan Sumiati, sambil duduk dan memohon dengan belas kasihan agar hati
Sumiati tergoyah dan mampu menolongnya. Mendapati jari-jari tangannya yang
tengah dingin, pandangan matanya yang sendu, juga wajahnya yang terlihat pucat
pasi.
“Yu Samirah, hari ini
aku tidak ada uang banyak. Tadi hanya dikasih anakku uang Dua Puluh Ribu, tiga
hari lagi Yu pasti hutang aku bayar,” hujan semakin deras, langit semakin
gelap, hati Sumiati mulai bergemuruh mendengar tetangganya datang menagih uang
yang dipinjamnya. “duduk dulu Yu, aku buatkan teh hangat” kaki Sumiati melangkah menuju ke dapur.
Angin dengan perlahan
masuk disela-sela lubang kecil rumah yang berdinding bambu, berlantai tanah,
dihiasi meja dan kursi yang terbuat dari pohon jati tua, kusam. Samirah
mematung di ruang tamu yang berukuran 3x4 meter.
“Yu, kapan kesini,
kok sendirian, lha Ibu di mana?,” tanya Arif yang baru saja tiba bersama
adiknya, tubuhnya basah kuyup sembari mengambil cangkul yang melekat di atas
pundaknya. Menghampiri tetangganya, Samirah dan mengajaknya bersalaman.
“Iya, baru saja rif.
Ibumu ada di belakang,” memandangi arif, memperlihatkan senyumnya. “tadinya aku
mau minta uang sama ibumu, sepertinya sedang tidak punya uang,”
“Ibu punya hutang
lagi, Yu?” menatap wajah perempuan itu dengan hati merasa tidak enak.
Tidak lama kemudian
Sumiati datang memberikan segelas teh hangat, ditaruhnya di atas meja dan
menyuruh Samirah untuk meminumnya. Namun disisi lain terlihat ada rasa
kekecewaan yang datang di hati kecil seorang anak laki-lakinya itu . Keningnya
berkerut dan menyisakan rasa sesal.
“diminum Yu, nanti
keburu dingin,” pinta Sumiati dengan suaranya yang lembut. Dalam dada sumiati
berharap agar anak laki-lakinya tidak mengetahui perihal hutang yang selama ini
disimpan sendiri dengan baik.
***
Suasana di dalam
rumah tampak hening. Di ruang tamu, tak ada satupun orang yang membuka pembicaraan.
Lidah Sumiyati kelu, hatinya selalu berdesir sangat cepat. Kedua anaknya hanya
duduk terdiam. Sementara lampu teplok yang diletakkan di atas meja sangat
memperjelas raut wajah anak laki-lakinya yang dari tadi terlihat muram.
“aku kecewa dengan
Ibu. Aku kan sudah bilang, kalau Ibu butuh uang tolong bicara sama aku, jangan
pinjam uang Yu Samirah. Ibu sendiri tahu kan Yu Samirah hidup sendirian tanpa
ada yang membantu. Ditinggal suaminya, tidak punya anak.” Arif tiba-tiba langsung
beranjak dari tempat duduk, berjalan menuju kamar tidur. Sedangkan adiknya
mendekati ibunya yang tengah bersedih.
“Ibu, Mas Arif
mungkin lagi kecapean, jadi terbawa emosi. Ibu istirahat saja ya, kata-kata Mas
Arif tadi jangan diambil hati,” berdiri
di samping Ibunya, kedua tangannya memegangi pundak Ibunya. Dalam hati anak
perempuan itu hanya berharap agar ibu yang dicintainya tidak tertekan mendengar
kakak satu-satunya mengungkapkan perasaannya tadi, meski perkataannya dapat
menggetarkan dada perempuan itu.
“sejak awal Ibu ingin
berbicara jujur mengenai hutang nduk, namun Ibu kasihan kalau melihat Arif
setiap hari bekerja seperti itu, melihat beban berat yang dipinggul. saat
kematian bapakmu, Yu Samirah sengaja meminjamkan uangnya kepada Ibu untuk mengurus
pemakamannya. Yu Samirah tentu pernah merasakan bagaimana saat dulu ditinggal
suaminya. Dia berbicara sendiri waktu itu bingung harus mencari uang dari mana
untuk mengurus pemakaman almarhum. Itu sebabnya ibu berani menerima tawarannya,
sedangkan saat itu Ibu tidak memegang sama sekali. Ibu hanya berjanji
sewaktu-waktu jika ada uang Ibu bayar. Setelah panen nanti Ibu akan melunasi
hutang. Ibu sudah mengecewakan kalian”
Mendengar jawaban
perempuan yang sudah sembilas belas tahun membesarkan dirinya, Ayuk segera
memeluk erat.
“nggak Bu, kita yang
tidak mengerti. maafkan Mas arif dan Ayuk ya Bu,”
***
Dalam
sehari-hari Arif masih saja disibukkan dengan aktifitas pekerjaannya di ladang.
Sesampai di rumah hanya istirahat dan memilih untuk berdiam diri di kamar
tidurnya. Tidak seperti biasa terkadang mengajak Sumiyati berbicara panjang
lebar mengenai perkembangan dalam menggarap ladangnya, juga mengiyakan adiknya
untuk ikut membantu pekerjaan di ladang. Sumiyati selalu berharap anak
lelakinya mau mengajaknya berbicara dan bercanda, selalu membayangkan.
Seisi
rumah sunyi senyap. Malam bertabur bintang. Ayuk duduk di teras depan rumah.
menatap gemerlap cahaya yang terlihat dari balik awan hitam. Cahaya yang
sempurna. Sambil menunggu kedatangan Sumiyati yang sudah dua jam pergi meninggalkan
rumah.
“Yuk,
Ibumu Yuk,” suara itu datang mengagetkan hati perempuan yang tengah merindukan
ketenangan. Seorang laki-laki lewat belakang rumah dan berjalan samping teras menghampirinya
dengan nafas terengah-terengah seperti habis berlari panjang.
“Ibumu
ditemukan pingsan di tengah jalan depan pintu makam, sekarang sudah dibawa ke
rumah sakit.” Laki-laki itu membuat panik hati gadis yang tidak mempercayai
kabar yang baru saja didengarnya.
“Kang,
tolong antarkan aku ke sana sekarang,”
***
Dari
balik jendela ruangan yang serba putih, Kedua bola mata yang dari tadi basah
hanya bisa memandangi tubuh seorang perempuan, Ibunya. Bibir tipisnya sambil
melantunkan doa, berharap agar ibunya segera membuka mata, setelah dua belas
jam belum ada perkembangan. Dokter memvonisnya mengidap penyakit jantung.
“Dek,
maafkan Mas. Mas sangat menyesal melakukan tindakan bodoh seperti ini. Mendiamkan
Ibu berlarut-larut.” Sebelum melihat lelaki itu menangis, Ayuk pernah melihat
air mata saudara kandungnya terjatuh ketika melihat almarhum Ayahnya dimasukkan
ke dalam liang lahat.
“minta
maaf kepada Ibu, Mas. Jangan kepadaku” jawabnya.
The
end
Tidak ada komentar:
Posting Komentar