Sore
sebelum senja datang aku putuskan untuk pergi keluar kos. Ada rasa jenuh ketika
aku duduk memandangi monitor, menulis lagi catatan-catatan kecil atau sekedar
mengerjakan tugas, tidak lupa sambil mampir di dunia timeline untuk mengusir
kebosanan. Setelah itu mengeclose beberapa dokumen dan langsung aku matikan
monitor yang ada di depan mata. Aku mengerti jenis barang satu-satunya ini
adalah sahabat yang selalu ada di saat aku butuhkan, tidak terlepas dari itu
barang ini sekaligus yang membuat aku merasa bosan karena harus bercumbu dengan
beberapa banyak tugas. Sehingga mau tidak mau membuka dan menutupnya lagi,
ah... menggemaskan!
Sejenak
ku rebahkan tubuhku di atas kasur. Memandangi atap yang masih saja terlihat
kusam, juga lampu penerang sebagai penghias. Pandangan mata ini berpindah di
sudut kamar, kupandangi kalender yang terletak di atas almari yang tingginya
hampir sepundakku yang angka-angkanya tidak begitu terlihat dari kejauhan. kira-kira
tidak ada satu meter. Mungkin karena angkanya yang terlalu kekecil-kecil. Anggap
saja begitu, bukan kedua bola mataku yang lagi minus. :D
Lantas
setelah itu aku beranjak dan memutuskan untuk pergi ke suatu tempat. Entah yang
ada di dalam pikiranku, aku hanya ingin pergi. Tanpa aku pikir panjang ingin
pergi ketempat ini atau itu. mengambil jaket, dompet dan tas berwarna hitam
kesayanganku.
Berjalan dengan santai menuju celter, sendirian. Kira-kira tidak ada dua puluh menit kalau berjalan dari tempat tinggalku yang mungil ini. Masuk ke dalam celter dan menunggu busway datang. Tidak tahu mengapa aku mengambil jurusan arah Malioboro. ah, yang penting nanti kalau ingin turun, turun saja sesuka hati.
Kali
ini aku tidak membawa buku satupun. Melihat mata ini jenuh melihat tulisan.
Padahal jika pergi ke suatu tempat tidak lupa membawa buku untuk menemani
perjalananku, Seperti novel atau bahkan komik. Ah, aku jadi teringat saudara
perempuanku. Dia selalu mengajariku membawa buku untuk dibaca di saat dalam
perjalanan. Katanya “dari pada melongo lebih baik baca buku” melempari aku buku
yang tebalnya hampir dua ratus halaman, dan aku tangkap. Hap! Langsung aku baca
seketika di dalam kereta.
Sepanjang
perjalanan di dalam busway aku duduk melihat pemandangan apa saja yang terlihat
di balik kaca jendela. “Jogja,” gumamku. “mengapa aku bisa sampai disini ya?”
membatin sambil tersenyum. “yang jelas hari ini aku seperti orang hilang.”
Ada
beberapa orang keluar masuk busway, salah satunya aku sendiri. Aku memilih
turun halte yang dekat dengan Malioboro. Suasana di Malioboro masih saja ramai.
Aku berjalan sambil melihat beberapa banyak penjual yang menghiasi pinggiran
jalan Malioboro. Terutama aku lebih suka melihat musisi jalanan memainkan alat
musiknya, ada keroncong dan gamelan. Kuambil koin dari sakuku, menaruhnya di
tempat pembuangan uang yang sudah disediakan oleh mereka. Banyak juga kutemukan
turis-turis di tempat ini.
Meneruskan
perjalananku lagi, untuk kesekian kalinya aku paling tidak tahan melihat
nenek-nenek yang berjualan buah salak. Entah karena aku terlalu cengeng melihat
perempuan yang seharusnya sudah beristirahat di dalam rumah, kini duduk
menawarkan harga kepada setiap orang lewat dan selalu berharap ada orang yang
membeli buahnya. Bukan karena kasihan, hanya saja tidak sanggup membendung air
mataku ini karena bahagia melihat mereka bekerja keras dengan usianya itu.
“kira-kira
senyum mereka itu karena keterpaksaan demi merubah nasib, ataukah memang sudah
nyaman dengan apa yang dilakukannya ya?,” gumamku. Aku sendiri pernah merasakan
bagaimana menjadi seorang penjual. Yah, dulu aku sempat menjual es degan di
perempatan kota Cilebut, tepatnya dekat stasiun Cilebut Bogor. Bersama seorang
saudara sepupuku laki-laki, aku melakukannya dengan senang hati. Namun
berlarut-larut aku merasakan kegundahan, “sampai kapan?” tanyaku dalam hati.
Dalam waktu sebulan aku melakukannya, dari perumahan saudara perempuanku
mendorong gerobak sampai berhenti dan menjualnya di samping toko besar yang
berjualan perabotan rumah tangga.
Semula
aku tidak bisa membayangkan ini terjadi. Dalam waktu satu bulan itu kebetulan
bertepatan dengan bulan puasa. Dulu memang saudara sepupuku ini sudah
berjualan, menjual roti bakar dan jagung bakar. Semenjak aku ada di rumah
saudara perempuanku itu, aku ikut berjualan dengan sepupuku. Ini pengalaman
pertama setelah aku dikurung di dalam pondok pesantren selama tiga tahun. Aku
bisa merasakan menjadi penjual, sekaligus berani mengambil resiko. Tidak mudah
memang, terkadang masih ada orang yang menawar harga, meski harga sudah
ditentukan. Namun, kita masih mau melayaninya, dengan niat beribadah dan tidak
berpikir untung banyak. Kita berjalan dengan pelan, melewati proses yang
berkepanjangan. Bertemu dengan pembeli yang beragam tipe karakter, jadi harus
mengikuti apa yang menjadi kemauannya. Ingin begini, ingin begitu. Sungguh
melelahkan namun menyenangkan.
Awalnya
rasa malu itu terus menggerogotiku. Namun jika dipikir-pikir, “untuk melakukan
hal seperti ini tidak usah malu, selagi aku mau berusaha pasti ada jalan. Aku
berani susah, pokoknya harus berani susah” kataku saat rasa malu itu datang,
menyemangati diri sendiri. Maklum, di kota besar memang harus bermental baja,
bukan bermental tempe. Dan ini untuk yang pertama kalinya!. Melakukan hal-hal
terkecil, dan selalu ingin menciptakan sesuatu hal yang besar. Itu keinginan semua
banyak orang, seperti diriku sendiri. Entahlah... masih banyak cerita di masa
lalu itu. namun kadang aku belum sanggup untuk menceritakannya.
Melangkah
dan menikmati padatnya jalan raya. Bisingnya suara kendaraan, debu-debu yang
berterbangan, juga melihat wajah-wajah mereka yg mengendarai motor. Memilih
untuk duduk di dekat pinggir jalan, kebetulan masih ada tempat duduk yang
tersisa. Kali ini aku duduk terdiam dengan tatapan kosong. Ada sedikit yang aku
renungkan. Yah, tentang kerinduan. Aku sedang merindukan kampung halamanku, Di
mana tempat aku dilahirkan. Kepada perempuan yang bekerja keras demi ketiga
anaknya. Juga seorang perempuan yg telah melahirkan perempuan pekerja keras
itu. aku memanggilnya “mbok anang” nenekku yang sudah memanjakan aku. Juga ibu,
yang sudah bersusah payah mencari nafkah dan menyekolahkanku. Mereka berdua
perempuan hebat. Tidak tahu mengapa setiap kali melihat perempuan yang tengah
ringkih dan mengaduh, rasanya air mata ini ingin segera keluar. Dan “apa yang mesti
harus aku perbuat untuk mereka?.” Begitu pertanyaanku terkadang muncul jika aku
merindukannya. Aku pernah mengecewakannya. Dan itu terasa seperti menelan
brotowali atau mahoni.
Aku
hanya teringat dengan do’a-do’a mereka, dan itu yang menjadi harapannya.
Tahukah engkau Ibu dan Nenek?, “aku sangat merindukanmu, sangat. Aku akan berusaha
untuk membuat kalian tersenyum.” Ucapku saat merasakan kedekatannya dalam
bayang-bayang. Mungkin lebih baik aku pulang ke tempat mungilku itu. sementara
senja sudah meninggalkan sore. Menapaki jalan berbelok dan mengikuti busway
melaju. “semoga mereka diberikan kesehatan dan kesabaran.” do’aku dalam harap.
Malioboro-Jogja,
Bulan Maret 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar