Malam ini aku sedang membayangkan wajah kalian. Wajah saat kalian
berusia tujuh tahun. Saat hujan datang seperti ini, kupejamkan kedua bola
mataku dan ku ingat lima belas tahun yang
lalu. Salah satu di antara kalian
menunjuk langit yang sedang mendung, meski dalam
hati sebenarnya aku takut melihat langit berubah menjadi kusam, tidak secerah
hari kemarin, tidak sepanas saat matahari memamerkan cahayanya, dan mereka;
orang-orang sibuk ada yang berlari menyelamatkan pakaiannya di jemuran, ada
yang berusaha memasukkan hewan ternaknya di dalam kandang, dan ada lagi
perempuan berusia senja menyuruh kita untuk masuk di dalam rumah. Yah, mungkin
perempuan itu tidak ingin melihat tubuh kita disiram air dari langit.
Saat itu kalian
mengajakku duduk di depan rumah tetangga sebelah. Kalian tetap menatap langit
yang masih saja gelap. Kalian
sahabatku…. Darman dan Kalis. Aku memang ditakdirkan untuk terlahir menjadi seorang perempuan,
sedangkan kalian sejatinya adalah seorang laki-laki yang tangguh. Tapi, aku
selalu tidak mempedulikan hal itu, kita adalah sahabat…
“Lus kira-kira
hujan nggak?” pertanyaan yang keluar dari bibir mungilmu, Darman…
“nggak tahu Man,
kayaknya sih hujan,” jawabku
sambil memperhatikan langit yang seluruhnya menjadi gelap. Mungkin sebentar lagi akan turun hujan. Namun
prediksiku tak selamanya benar. Ketika cuaca seperti ini barangkali tidak turun
hujan, hanya sekedar menebak.
“kita nanti
hujan-hujanan yuk, aku mau ambil bola dulu,”
ajak kalis, segera beranjak berjalan
menuju ke rumahnya yang tidak jauh ari tempat duduk kita.
Ah, saat itu aku
benar-benar takut dengan hujan. Terutama takut mendengarkan ibu mengomel sambil
menggoreskan koin ke punggungku. Kalau kulitku belum ada yang terlihat merah,
pegangan tangannya tidak akan dilepas. Bayangan-bayangan itu selalu
menghantuiku. Akan tetapi ketika hujan sudah turun ketakutanku hilang disapu
derasnya hujan. Ini pertanda bahwa aku harus merelakan pakaianku basah.
“sekarang
permainannya kita harus bisa memasukkan bola ke dalam gawang, kalau nilainya
sedikit pokoknya harus gendong yang nilainya paling banyak,”
kata Darman sambil menunjuk gawang, dengan sedikit tertawa.
“kita setuju”, jawab kalis
singkat.
Bermain bola
adalah salah satu permainan terlucu yang pernah aku rasakan, bersama hujan.
Bagaimana tidak, aku harus menendang bola dengan kekuatan yang super extra.
Ketika bola sudah berada di atas air, susah rasanya untuk menggelinding.
Satu-satunya cara agar aku dapat mengambil bola adalah dengan menarik-narik
baju sahabatku. Dengan begitu mereka terjatuh dan tertawa melihat tingkahku
yang konyol. Apalagi pembatas gawang terkadang dipindah dan sengaja
dihilangkan. Sepasang sandal
kita jadikan gawang, dengan memberikan jarak tiga langkah. Tak ada yang menang, tak ada yang kalah. Kita memang bermain dengan
aneh.
Setelah bermain
bola, satu hal lagi yang tidak bisa aku lupakan. Kita selalu keroyokan untuk
mendapatkan air terjun dari genting rumah tetangga. Aku selalu tertawa kalau
melihat tingkah kalian. Serasa air terjun yang jatuh itu memijat kepala kita
yang lagi pusing. Bukan begitu sahabat kecilku?. Dan sampai saat
ini ketika hujan turun, aku tidak akan pernah lupa dengan masa kecilku bersama
kalian. Apalagi saat aku belum mengenal banyak tentang persoalan dalam kehidupan, saat aku belum mengenal masalah, dan satu lagi: aku
belum mengenal apa itu sebuah keikhlasan dan pengorbanan.
hmmm, memang aku
wajib menulis tentang suatu hal-hal yang bersejarah dalam kehidupan ini, Agar
aku tidak gampang melupakannya. Satu kata atau dua katapun tak menjadi masalah.
Sahabat kecilku,
bagaimana kabarmu hari ini?
Di sini aku
merindukan kalian…
Djogja, 16 Okt ’12, Kost Anggun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar