Luno

berdiri dan terus melangkah tanpa lelah...

Senin, 09 September 2013

Hujan dan Kenangan



Malam ini aku sedang membayangkan wajah kalian. Wajah saat kalian berusia tujuh tahun. Saat hujan datang seperti ini, kupejamkan kedua bola mataku dan ku ingat lima belas tahun yang lalu. Salah satu di antara kalian menunjuk langit yang sedang mendung, meski dalam hati sebenarnya aku takut melihat langit berubah menjadi kusam, tidak secerah hari kemarin, tidak sepanas saat matahari memamerkan cahayanya, dan mereka; orang-orang sibuk ada yang berlari menyelamatkan pakaiannya di jemuran, ada yang berusaha memasukkan hewan ternaknya di dalam kandang, dan ada lagi perempuan berusia senja menyuruh kita untuk masuk di dalam rumah. Yah, mungkin perempuan itu tidak ingin melihat tubuh kita disiram air dari langit.

            Saat itu kalian mengajakku duduk di depan rumah tetangga sebelah. Kalian tetap menatap langit yang masih saja gelap. Kalian sahabatku…. Darman dan Kalis. Aku memang ditakdirkan untuk terlahir menjadi seorang perempuan, sedangkan kalian sejatinya adalah seorang laki-laki yang tangguh. Tapi, aku selalu tidak mempedulikan hal itu, kita adalah sahabat…

            “Lus kira-kira hujan nggak?” pertanyaan yang keluar dari bibir mungilmu, Darman…

         “nggak tahu Man, kayaknya sih hujan,” jawabku sambil memperhatikan langit yang seluruhnya menjadi gelap. Mungkin sebentar lagi akan turun hujan. Namun prediksiku tak selamanya benar. Ketika cuaca seperti ini barangkali tidak turun hujan, hanya sekedar menebak.

            “kita nanti hujan-hujanan yuk, aku mau ambil bola dulu,” ajak kalis, segera beranjak berjalan menuju ke rumahnya yang tidak jauh ari tempat duduk kita.

            Ah, saat itu aku benar-benar takut dengan hujan. Terutama takut mendengarkan ibu mengomel sambil menggoreskan koin ke punggungku. Kalau kulitku belum ada yang terlihat merah, pegangan tangannya tidak akan dilepas. Bayangan-bayangan itu selalu menghantuiku. Akan tetapi ketika hujan sudah turun ketakutanku hilang disapu derasnya hujan. Ini pertanda bahwa aku harus merelakan pakaianku basah.

            “sekarang permainannya kita harus bisa memasukkan bola ke dalam gawang, kalau nilainya sedikit pokoknya harus gendong yang nilainya paling banyak,” kata Darman sambil menunjuk gawang, dengan sedikit tertawa.

             “kita setuju”, jawab kalis singkat.

            Bermain bola adalah salah satu permainan terlucu yang pernah aku rasakan, bersama hujan. Bagaimana tidak, aku harus menendang bola dengan kekuatan yang super extra. Ketika bola sudah berada di atas air, susah rasanya untuk menggelinding. Satu-satunya cara agar aku dapat mengambil bola adalah dengan menarik-narik baju sahabatku. Dengan begitu mereka terjatuh dan tertawa melihat tingkahku yang konyol. Apalagi pembatas gawang terkadang dipindah dan sengaja dihilangkan. Sepasang sandal kita jadikan gawang, dengan memberikan jarak tiga langkah. Tak ada yang menang, tak ada yang kalah. Kita memang bermain dengan aneh.

            Setelah bermain bola, satu hal lagi yang tidak bisa aku lupakan. Kita selalu keroyokan untuk mendapatkan air terjun dari genting rumah tetangga. Aku selalu tertawa kalau melihat tingkah kalian. Serasa air terjun yang jatuh itu memijat kepala kita yang lagi pusing. Bukan begitu sahabat kecilku?. Dan sampai saat ini ketika hujan turun, aku tidak akan pernah lupa dengan masa kecilku bersama kalian. Apalagi saat aku belum mengenal banyak tentang persoalan dalam kehidupan, saat aku belum mengenal masalah, dan satu lagi: aku belum mengenal apa itu sebuah keikhlasan dan pengorbanan.
 
            hmmm, memang aku wajib menulis tentang suatu hal-hal yang bersejarah dalam kehidupan ini, Agar aku tidak gampang melupakannya. Satu kata atau dua katapun tak menjadi masalah.
            Sahabat kecilku, bagaimana kabarmu hari ini?
            Di sini aku merindukan kalian…

Djogja, 16 Okt ’12, Kost Anggun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar