Sudah
seminggu aku berada di rumah saudara perempuanku. Dan hari ini aku bersiap-siap
pergi meninggalkan kota besar. Kukemasi semua barang-barang yang tergeletak di
atas kasur, memasukkannya ke dalam tas ransel berwarna hitam. Mengusir
kejenuhan dengan mengunjungi tempat saudara adalah bagian kecil suatu hal yang
setahun sekali aku lakukan. Mengingat liburan kuliah sudah ada di depan mata,
Setelah menjalani ujian akhir semester. Sementara detik ini kembali lagi ke
kota pelajar untuk mengikuti lomba melukis, memberikan berkas-berkas yang sudah
aku persiapkan sebagai persyaratan untuk mengikuti lomba, kebetulan di kampusku
mengadakan kegiatan untuk mengisi acara pada awal bulan ramadhan yang diadakan oleh Bem Fakultas.
“Mengapa buru-buru balik lagi Na,
bukannya liburanmu masih lama?,” tanya saudara perempuanku yang tengah sibuk
mempersiapkan bekal makanan untukku. Uraian rambutnya sedikit berantakan, setelah
itu mencuci kedua tangannya. Memberikan bekal makanannya kepadaku.
“Ya Mbak, sedikit ada urusan.
Bertahan dulu di Jogja, nanti kalau aku pulang ke rumah pasti kukabari, sampean pulang kampung kan?,” sambil
merapikan tali sepatuku.
“Belum tahu, pengennya ya pulang
kampung. Masih menunggu kepastiannya dari Masmu. Ini bekalnya buat nanti waktu buka
dan sahur di perjalanan. Hati-hati di jalan, sering berdoa lho, di sini itu
Jakarta bukan seperti di sana, apalagi kamu perempuan.” ujarnya setelah
kuterima bungkusan makanan yang tertata rapi sekaligus dimasukkan ke dalam kantong
plastik bergambar bunga mawar.
“Inggih, salam buat Mas Ipar dan
keponakan. Aku berangkat dulu. Oh ya, makasih sudah dibawakan bekal mbak” aku
menyalaminya kemudian pamit untuk meninggalkan kota besar, kota metropolitan.
Lambaian tangannya terlihat dari kejauhan di depan rumahnya.
Terus terang aku sangat bahagia bisa
mengunjungi saudara perempuanku satu-satunya itu. Kami, aku dan dia sering
berbagi cerita. bercerita selama aku menjadi mahasiswa semester tua, juga
tentang masa lalunya ketika Ia menjadi mahasiswa dulu. Banyak kutemukan
pengalaman-pengalaman hidupnya selama menjadi mahasiswa. Belum lagi semangatnya
empat lima untuk memotivasi aku dengan cara gaya bicaranya yang pelan juga
setiap kata-katanya yang kesannya tidak menggurui. Selain itu memperkenalkan
aku dengan sesuatu yang baru, tidak terlepas dari itu, Ia suka bercerita tentang persoalan hidup. Aku menganggapnya Ia adalah seorang perempuan
hebat setelah ibuku.
Melanjutkan perjalananku sendirian
sambil menutup kepalaku dengan lampiran kertas koran. melawan terik panasnya
matahari menuju stasiun kota, Kemudian mengikuti jalannya kereta sampai tubuhku
dibawa ke stasiun lain untuk pindah tempat tujuan. Tiba di stasiun kedua ini
aku menghampiri loket untuk membeli tiket jurusan ke arah Yogyakarta. Tidak
sengaja kutemukan bangku kosong di peron stasiun, melepas lelah dengan
menurunkan tas ransel kutaruh di bawah kursi, di samping kakiku, duduk dengan
tenang sambil mengipas wajahku dengan pelan menggunakan lampiran kertas koran
yang kupakai tadi. Setelah menikmati perjalanan empat puluh lima menit dari
rumah saudara.
“Mau kemana Mbak?” tiba-tiba dikagetkan
oleh suara seorang laki-laki yang duduk di samping kiriku. Aku tersenyum lantas
membalas pertanyaannya.
“Eh, mau ke Jogja Pak. Bapak sendiri
mau kemana?,” mendadak terlintas di otakku sebuah pesan yang baru saja
dilontarkan saudara perempuanku sebelum berangkat menuju stasiun ini.
“Surabaya, asli orang jawa ya Mbak?,
tinggal di Jogja?.” kutatap raut wajahnya yang tampak penuh kerut-merut, terlihat gigi depan atas yang
terdapat sedikit guratan berwarna coklat, Mungkin saja akibat keseringan
merokok, Atau karena yang lain. Rambutnya acak-acakan. Mengenakan celana jeans
berwarna hitam kusam, berbaju kemeja kotak-kotak berlengan pendek dan memakai
sandal japit.
Perasaanku
campur aduk, antara harus meladeni pertanyaannya ataukah lebih baik mencari
alasan lain untuk meninggalkannya pergi. Mencoba menghilangkan rasa ketakutanku
sendiri dengan berpikir lama justru membuatku sedikit bingung. Apalagi teringat
dengan berita-berita kriminal di media massa yang setiap hari terjadi tindak
kejahatan di tempat-tempat seperti ini. “berhati-hatilah
kepada orang yang tidak dikenal, sekarang sudah banyak korban pencopetan. Bisa
jadi dihipnotis atau dengan memberi minuman untuk mengelabuhi korban agar tidak
sadarkan diri” ujar seorang petugas keamanan waktu itu di salah satu berita
di media massa, khususnya televisi.
“Iya
Pak, tapi tinggalnya tidak di Jogja. Di Jogja hanya sekolah. Bapak dari mana?”
lama bapak ini menjawab, batinku. Terus terang ketakutanku tak kunjung mereda. Mendadak
aku tengah berhalusinasi negatif. Memperhatikan gerak geriknya. Meski hanya
duduk dan kepalanya sedikit menunduk. Memainkan jari-jari tangannya sambil
memutar mutarkan selembar kertas yang terlipat menjadi persegi panjang.
“Saya
dari Tanjung Priok Mbak, Saya kecopetan di dalam bis waktu mau kesini beli
tiket. Turun bus dompet saya sudah hilang. Saya dikasih uang lima ribu sama
penjual asongan untuk melapor barang hilang ke kantor polisi. Setelah itu saya
disuruh minta tiket gratis ke kepala stasiun, cuman ngga dikasih. Katanya tiket
sekarang sudah mahal. Saya bingung Mbak harus kemana lagi. Berkali-kali mengajukan
selembar kertas ini ditolak. Sudah dua minggu saya klontang-klantung di sini.
Tidak ada saudara sama sekali,” jawabnya dengan mengusap air matanya sendiri.
Aku
menelan ludah, tidak bisa membayangkan jika aku sendiri yang mengalaminya. masih
saja kusaksikan keramaian disekelilingku. Hanya satu orang yang mengalami
musibah namun di sini ada puluhan orang mondar mandir. ada yang sedang membeli
tiket, mengantar sanak saudaranya sampai hanya di pintu stasiun. Bapak-bapak
beserta orang dewasa menjadi penanggul barang-barang dan masih banyak yang
lainnya. Tapi bagaimana mungkin dua minggu menganggur di stasiun tidak melakukan
apa-apa, padahal secara fisik bapak ini tidak setua bapak itu yang menjual
korannya berkeliling. Lantas apa yang dilakukannya selain meminta bantuan dan
duduk seperti ini?. Pikiranku mulai memunculkan pertanyaan-pertanyaan sendiri.
Tangannya kulihat masih saja mengucek kedua bola matanya. Memang tidak ada yang
tahu kedalaman hati seseorang, apalagi di kota besar seperti orang jarang
peduli dengan keadaan orang lain, bahkan mengertipun tidak ingin mau tahu, tak ada sekalipun. Namun lagi-lagi aku
merasa was-was.
“Mbak
bisa lihat sendiri ini surat tanda barang hilang dari polisi, Demi Tuhan Mbak
saya tidak berbohong. Saya sebenarnya malu meminta bantuan orang Mbak, tapi
keadaannya memang kayak gini yang memaksakan aku untuk meminta-minta.
Seandainya ada orang yang mau meminjamkan uang lima puluh ribu kepada saya
Mbak, saya akan mengembalikannya. Saya akan minta nomor rekeningnya trus
mentransfer. Kasihan saya Mbak, saya niatnya mau pulang ngasih uang buat
anak-anak saya yang masih kecil-kecil. Selain itu Uangnya juga buat bancaan empat puluh harinya istri saya.
Sama-sama orang Jawa mbak, saya sangat butuh untuk tambahan ongkos pulang. Terserah sampean mau percaya atau
tidak. Memang ya ini kenyataannya mbak. Saya pasti ganti”
aku
tediam memandangi lantai keramik berwarna putih. Perasaanku diliputi rasa iba.
Di sisi lain antara percaya atau tidak percaya terus ada di dalam benak
pikiran. Masih kupegangi secarik kertas yang diperlihatkan kepadaku. Tertulis
nama lengkap beserta alamat lengkapnya. Tanda tangan dari pihak kepolisian dan
tanda tangannya sendiri. “Ah, bisa jadi ini palsu” gumamku dalam hati.
Kuperhatikan lagi setiap gerak geriknya. Dengan perasaan berdebar-debar dan
bertanya-tanya aku membuka tas untuk mengambil uang di dalam dompet.
“Sebelumnya
maaf ya pak, saya hanya bisa membantu sedikit,” kuberikan selembar uang kertas,
uang dua puluh ribu. Untuk mahasiswa sepertiku uang lima puluh ribu sangat
besar. Apalagi berpenghuni di kos. Melihat tempat yang aku injak adalah kota
besar, Hanya ada segelintir orang yang dapat dipercaya. Lebih baik uang sebesar
itu aku masukkan ke dalam kotak sedekah kepada yayasan yatim piatu, karena
sudah jelas-jelas uang itu untuk mereka yang sangat membutuhkan. Dalam dadaku
sebenarnya menggemuruh. Ada rasa haru dan merasa bersalah yang muncul dengan
sendirinya, namun dibalik semua itu ada sedikit rasa tidak percaya. “Semoga bapak ini tidak kecewa, maaf pak
tidak bisa membantu sepenuhnya,” ujarku dalam hati.
Kulihat
wajah laki-laki ini menampakkan gambaran kekecewaan. Kepalanya kembali menunduk.
Memasukkan selembar uang dariku ke dalam tas yang dari tadi ada di atas
pangkuannya. Tidak ada senyum sama sekali, mungkin karena uang yang diterimanya
tidak seperti apa yang diharapkannya. Aku sendiri bingung apa yang dipikirkan
bapak ini. Apakah karena sedih tidak bisa pulang ke tempat kelahirannya,
ataukah sedih karena gagal mendapatkan uang yang didapatkan dari korbannya.
Pikiranku kemana-mana.
“Terimakasih
Mbak, iya ngga apa-apa, Saya tetap terima. Permisi Mbak saya pergi dulu.” Tiba-tiba
kedua kakinya melangkah menuju keramaian di jalan dekat loket. Tubuhnya hilang
tertutup segerombolan orang-orang yang tengah mengantri membeli tiket. Sengaja
aku pindah ke tempat duduk lain. Melirik jam tangan. Setengah jam lagi kereta
akan datang. kupandangi seorang lelaki yang sudah renta, di sekitarku Ia
memunguti bekas botol minuman, kemudian duduk di depan barisan tempat dudukku.
“Neng,
bapak yang tadi duduk di samping neng meminta uang ya, Neng kasih berapa?.”
Mataku terbelalak seetelah mendengar pertanyaan seorang laki-laki yang terlihat
sudah renta. “Dia bukan asli orang Jawa. Dia orang sini saja, tetangga saya.
Sudah sebulan di PHK dari tempak kerjanya. lain kali hati-hati Neng, mendekati
lebaran banyak penipu. Saya sudah tua, tidak bisa banyak membantu Neng saat
tadi Neng sedang dikelabuhi. Dari tadi hanya bisa memperhatikan dari kejauhan.
Takut nanti saya berurusan dengan yang lebih muda.” Belum sempat aku menjawab
pertanyaannya laki-laki tua itu meninggalkan tempat duduknya. Menenteng karung
besar berisi barang-barang bekas.
“Sudah
terlanjur” jawabku lirih,
Jogja, 16 Juli 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar