Luno

berdiri dan terus melangkah tanpa lelah...

Minggu, 13 Juli 2014

Perihal Bunga Melati



Ada yang tidak menyukai bunga melati. Aku pikir bunga melati itu baunya sangat harum, harumnya melebihi parfum manapun. Berbicara bunga melati pikiranku langsung tertuju ke simbah. Iya, simbah. Kakaknya nenek (Alm). Waktu usiaku menginjak tujuh tahun, aku memilih tidur bersama beliau. Aku memangggilnya Mak Yung. Nama aslinya Maryam. Entah keluargaku memanggilnya dengan sebutan “Mak” yang artinya “Emak” dan “Yung” yang artinya “tertua” kira-kira seperti itu, jadi seorang ibu yang tertua. Kata bapak. Asal-asalan. Bagiku beliau adalah perempuan yang cantik yang kukenal. kulitnya kuning langsat, tubuhnya tinggi semampai, bau badannya selalu wangi, dan aku suka beliau saat memijit badanku yang kurus, pun saat ia tertawa.

            Kedua orang tuaku selalu sibuk, saking sibuknya Mak Yung yang merawatku. Dari mulai aku bangun pagi sampai malam menjelang tidur kembali, Aku selalu didekatnya. Aku anak ketiga dari tiga bersaudara. Anak pertama kakakku seorang laki-laki, bernama Mas Hudiyanto, kakakku kedua bernama Kustiah. Selisih umurku dengan kakak pertama dua belas tahun, sedangkan dengan kakak kedua sepuluh tahun. Jadi tidak heran jika di rumah selalu ramai karena ulah kami. Tentu saja ketika aku dijahili mereka selalu ada bidadari cantik yang menolongku. Mak Yung.

            Waktu itu ibu pernah bercerita kepadaku bahwa kehadiranku memang diperuntukkan oleh perempuan yang kian usianya dimakan oleh waktu. Mak Yung menginginkan seorang bayi perempuan untuk diasuh di keluarga kami. Ibu menyadari karena memang Mak Yung tidak punya anak. Suaminya sudah lama meninggal. Jarak antara rumahnya dan rumahku sangat jauh. Randublatung-Kedungtuban. Suaminya meninggal karena sakit, entah aku sendiri tidak pernah menanyakan beliau meninggal karena sakit apa. Aku hanya pernah melihat foto-foto yang usang waktu pasca pemakamannya. Dan pernah diajak Mak Yung ke makamnya. Waktu itu memang aku masih kecil, masih sekitar umur tujuh-delapan tahunan. Di batu nisan itu bertuliskan “Sampan” dan para tetangganya waktu itu memanggil “Sukro Dikromo Sampan.” Beliau adalah mantan lurah di desanya.

            Semenjak itu aku sering melihat Mak Yung pulang pergi menuju Randublatung-Kedungtuban. Ketika Mak Yung kembali ke Randublatung aku tidur bersama nenek. Kadang juga sering diajak kesana, diperkenalkan keluarga dan kerabat. Mereka ramah dan baik. Di sana banyak kutemukan pohon jati, jalan bebatuan, belalang raksasa, kepompong, dengungan suara anjing, dan sama sekali tidak ada listrik. Desa itu bernama ‘Smengko’. Pelosok dan jauh dari kota. Aku suka desa itu karena asri dan banyak tumbuh-tumbuhan. Dan biasanya ketika kami sedang kumpul, kami tidak pernah melewatkan minum kelapa muda. Di sana memang banyak tumbuh pohon kelapa.

            Mak Yung mempunyai kebiasaan yang menurutku aneh. Ia sering ‘nginang’ bibirnya selalu berwarna agak merah kemerahan, kadang juga berwarna orange. Ia seperti mempunyai senjata. Setiap hendak akan pergi keluar rumah, tidur, bangun tidur, usai makan, pasti selalu membuka kotak kecil berisi daun sirih, irisan tipis-tipis tembakau yang tidak terlalu kering, kapur sirih, gambir. Meraciknya lalu memasukkannya ke dalam mulut. Giginya seperti biji timun, rapi dan sama sekali belum ada yang hilang. Jika dibandingkan dengan nenek (adiknya) giginya bisa dihitung dengan jari telunjuk, terlihat masih ada beberpa yang telihat. Karena memang hanya Mak Yung yang nginang. Dan saat meludah tentu ludahnya akan berwarna orange, kang merah merona.

            Ada satu hal yang tidak akan pernah aku lupakan. Mak Yung sering mengambil bunga melati yang tumbuh di depan rumah. jika kedua bola matanya itu melihat bunga melati, selalu saja mengambilnya dan menaburkannya di atas ranjang tempat tidur. Tentu saja membuatku bertanya-tanya.

            “Untuk apa Mak?” tanyaku penasaran

            “Biar Wangi” katanya

            Jadi setiap kali mau tidur, aku terkadang merasa risih karena bunga melati yang ada di bawah tubuhku seperti semacam kertas yang dirobek-robek tak beraturan lalu disebarkan kemana-mana. Namun aku berusaha untuk tidak banyak tanya. Aku nikmati baunya yang kian mewangi. Tidak hanya itu, Mak Yung juga sering menyelipkan beberapa bunga melati ke dalam rambutnya yang disanggulnya. Semenjak itu aku ikut mencintai bunga melati.

            Saat bunga melati yang disebarkan di atas tempat tidur itu berubah menjadi layu dan berubah warna menjadi agak kecoklatan, seketika itu Mak Yung menggantikan bunga melati yang baru. Aku kadang heran kenapa bunga melati di depan rumah selalu tumbuh dan terlihat muncul banyak.

            “Mak, kan masih ada bunga selain bunga melati tho?,” tanyaku dengan sedikit heran karena tidak henti-hentinya Makyung selalu metik bunga itu, lalu ia menjawab dengan nada rendah, “Kalau bunga mawar banyak durinya, jadi susah ngambilnya. Mending bunga melati” begitu jawabannya. Aku menarik kesimpulan, bahwa memang ada yang lebih mudah diambil kenapa harus mempersulit diri untuk memilih yang lain?. Selama bunga melati membuat Mak Yung nyaman, ia tidak akan pernah menggantikannya dengan bunga manapun. Ah, aku menafsirkannya terlalu lebay. Tapi memang kenyataannya begitu Mak, seperti Mak yung dan bunga melati, akan selalu melekat di dalam memoriku pun tidak akan ada yang bisa menggantikannya oleh apapun dan siapapun.

            Hari selalu berjalan. Entah sejak kapan aku mulai merasa bahwa bagiku ulang tahun bukan lagi sesuatu yang membahagiakan ataupun sesuatu yang spesial. Masih sama seperti hari-hari biasanya. Usia tidak lebih hanyalah sebuah simbol. Diusiaku yang Tujuh tahun, delapan tahun, lalu sembilan tahun. Aku melihat dan merasakan kedekatan dengan Mak Yung yang begitu mendalam. Ia sudah kuanggap menjadi ibu sekaligus bapak. Merawatku dengan kasih sayang. Hingga suatu hari aku terpaksa tidak bisa membendung air mataku yang menggantung lalu terjatuh. Aku orang pertama kali yang menaburkan bunga melati di atas gundukan tanah yang kering. Tertulis batu nisan “Maryam binti Munawi”

            Berjam-jam aku menangisi kepergiannya. Mereka, tetanggaku manahan tubuhku supaya tidak terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan. Kemudian mereka melepasku dan aku kelesetan di bawah tempat tidur, menangis... dan menangis. Sebelum jenazahnya dibawa ke pemakaman, mereka berusaha menenangkan diriku. Hingga hatiku menjadi luluh dan tenang.

            “Sing sabar, doakan yang terbaik buat Mak Yung, Nduk” begitu nasehat yang muncul dari tetangga sebelah. Kenangan bersama Mak Yung selalu datang silih berganti. Selalu memutar di kepalaku. Aku ingat saat beliau menyuapi aku makan, memandikan, membelikan dan memakaikan perhiasan kepadaku, juga memarahi kedua kakakku saat mereka menjahiliku. Dan yang paling utama saat aku ikut memetik bunga melati lalu ikut menaburkannya di atas tempat tidur. Pelukan perempuan yang berbadan wangi kini telah meninggalkanku.

            Keluarga dan kerabat dari Randublatung ikut berkabung. Suasana sunyi. Sebelum Mak Yung meninggalkan kami, Mak Yung berpesan kepada ibu untuk dimakamkan di Kedungtuban. Sakit diabetes yang dideritanya cukup membuat hati kami untuk selalu menjadi sabar dalam merawat Mak Yung. Keinginan keluarga dari Kedungtuban untuk merawatnya dikabulkan oleh pihak dari keluarga Randublatung. Dan kami merasa tenang karena pesan Mak Yung sudah kami kabulkan.

            Sejak itu aku tidak bisa melupakan harumnya bunga melati. Setiap hendak tidur aku mengambil bunga melati dan kutaburkan di atas ranjang. Ibu memandangku dengan hati terbelah. Kadang saat bunga melati kian tumbuh dan semakin banyak, aku mengumpulkannya lalu kuambil jarum dan benang untuk merangkainya, kujadikan sebuah kalung dan kutaruh disampingku saat tidur.

            Di saat aku mulai beranjak dewasa dan pergi meninggalkan rumah untuk merantau, sebagai gantinya aku membeli minyak melati dan mengoleskannya dibadanku sebelum tidur. Supaya aku tetap merasakan kehangatan tubuhnya Mak Yung. Sampai sekarang aku mempunyai kebiasaan sebelum tidur menyemprot parfum di sekitar tubuhku, meski terkadang aku kehabisan minyak melati. Sekiranya parfum dapat menggantikan harumnya bunga melati yang sifatnya hanya sementara. Aku selalu tidak peduli dan membalas senyum mereka, keluargaku dan temanku, bingung karena kebiasaanku memakai minyak wangi sebelum tidur, aku hanya merasa tenang setiap akan tidur mencium aroma wangi-wangian. Jika Mak Yung kuanggap mempunyai hobi yang aneh, yaitu nginang. Maka aku mempunyai hobi yang aneh juga seperti menyemprotkan parfum di tubuhku sebelum tidur. Saat ini aku merindukannya, semoga amal dan ibadahnya diterima di sisiNya. Di tempatkan di surga. Amien

 (Gambar: Bunga melati. sumber: saya ambil diinternet)