Luno

berdiri dan terus melangkah tanpa lelah...

Sabtu, 21 Desember 2013

Surat Singkat untuk yang Berbahagia


Aku sangat bahagia melihat mereka memakai toga dan membawa ijazahnya. setelah keluar dari gedung, mereka berfoto bersama sekaligus saling mengucapkan selamat. terlihat senyumnya yang begitu merekah, ada lagi yang meneteskan air mata, barangkali sudah tidak bisa membendung rasa senangnya itu. ku amati dari kejauhan, ada rasa terharu muncul. Dalam hatiku sebenarnya bergemuruh, pertanyaan tiba-tiba muncul dari pikiranku. “Aku kapan ya?,” begitu kalimat yang kulontarkan di dalam hati.


            “Proses kita memang berbeda, kawan” aku berusaha menghibur diri dengan mengatakan kalimat itu. andai semua manusia diciptakan dengan proses yang sama, mungkin rasa bahagia itu juga akan dirasakan sama. tapi rasa bahagiaku ini memang berbeda, dan aku bangga dengan melewati proses itu, tentu begitu juga denganmu.

Setelah ini mungkin masih banyak tantangan yang harus dilalui, dinikmati. Jalan masih panjang, membahagiakan orang tua pasti yang paling awal. Selamat sudah diwisuda kawan, semoga kedepannya selalu diberikan kemudahan dan kesabaran, tidak terlepas dari rasa rendah hati, semoga ilmunya bermanfaat. aku bahagia menjadi temanmu, dan aku pasti akan menyusulmu. :D


Sabtu, 14 Desember 2013

Bulir-bulir Air Mata dan Hujan


Di ruang makan, Ningrum duduk sambil mengamati sepiring nasi jagung yang ada di atas meja. Air matanya merebak dengan hati terbelah. Ingatannya tertuju kedua orang tuanya yang sudah lama tak diketahui keadaannya. Sesekali memejamkan mata dan menyeka air matanya sendiri dengan menggunakan lengan daster yang dikenakan.  Suara sesenggukan pun memecahkan keheningan. Gerimis di bulan November masih awet, setiap sore menjelang malam kampung yang ada di bawah kaki gunung ini tak henti-hentinya diliputi gerimis. Ningrum beranjak dari tempat duduknya, dengan langkah berat menuju kamar tidur.

            “Rum, nasi jagungnya nggak kamu makan?,” tanya Wawan, suaminya. Sekilas memandangi sepiring nasi jagung di atas meja yang masih utuh, kemudian melangkah menghampiri Ningrum yang ada di dalam kamar. Sampai di pintu kamar dilihatnya perempuan yang berambut lurus dan panjang itu sibuk memasukkan pakaiannya ke dalam koper.

            “Lho, kamu mau kemana, Rum?. Kenapa menangis?” mendapati matanya basah, Wawan berusaha menenangkan istrinya. Mengelus pundak perempuan itu dan mengusap air matanya.
            “Aku sangat merindukan mereka,” air matanya terus mengucur. menutup koper dan meletakkannya di samping almari. Keduanya saling memandang. Ada secercah harapan yang terlihat di bola mata perempuan yang sedari tadi meneteskan bulir-bulir air mata.
            ‘Yah, antarkan aku untuk bertemu Bapak dan Ibu, aku mohon” wajah perempuan itu nampak memelas. Di ujung jari-jari tangannya terlihat gemetar. Pandangan kedua bola matanya kian meredup.
            “Besok ya Rum, ini sudah malam, Di luar dingin. Lihat kondisi dan anak kita sekarang yang masih kecil” ada rasa iba ketika melihat istrinya menangis sesenggukan.
***
            Ningrum, nama panggilan gadis bermata sayu, berkulit kuning langsat dilahirkan oleh perempuan bernama Lastri yang setiap harinya menjual sayuran keliling di kampungnya. Ayahnya Salim, laki-laki berbadan tegap, perutnya buncit, bekerja disebuah toko yang baru saja dibangun, menjual peralatan pertanian sekaligus menyediakan pupuk. Keduanya pedagang. semangatnya untuk menyekolahkan anak satu-satunya tidak pernah padam. Cita-citanya hanya sederhana, mereka ingin Ningrum sekolah sampai di bangku perguruan tinggi, kemudian mengabdi menjadi guru di kampungnya. melihat krisisnya para pendidik yang mengajar, setelah melihat orang-orang yang tamat dari perguruan tinggi memilih untuk meninggalkan kampung dan menikmati hidup di kota.

            “Anakmu itu pintar, selalu dapat ranking di sekolah. Setelah perpisahan sekolah nanti pengennya mau bekerja apa kuliah?,” tanya perempuan berbadan gempal, pembeli yang tidak jauh dari rumahnya.
            “Pengenku ya sekolah lagi, Yu. Masih diusahakan ini nyari uangnya, masuk kuliah butuh uang banyak. Aku juga belum ngomong langsung sama anakku,” wajah Lastri nampak bahagia. Senyumnya merekah.

            Setiap usai terdengar ayam berkokok, pagi petang perempuan yang sudah berkepala empat ini dengan rutin pamit kepada suaminya untuk pergi kulakan di pasar. Dengan menggunakan sepeda onthel kesayangannya, Lastri rela menempuh jalan berkelok dan penuh lubang. Sampai pasar tradisional, ia membeli sayuran ke tengkulak. Lastri dikenal perempuan yang pandai bergaul sekaligus murah senyum, sehingga tidak sedikit orang yang tidak mengenalnya.

            Setiap hari menjualkan dagangannya dengan berkeliling antar desa. Dengan bermodalkan suara untuk memanggil tetangganya, Lastri bisa mendapatkan uang. Meski terkadang masih ada beberapa orang yang tidak berbelanja, juga berbelanja namun berhutang kepadanya.

Setiap kali Lastri bertemu orang-orang di kampung, ia selalu dihujani pertanyaan-pertanyaan tentang anak perempuan satu-satunya itu. pujian-pujian sering datang masuk ke dalam telinga. Mereka bangga melihat keberhasilan Ningrum, keberhasilan seorang gadis manis yang memperoleh predikat menjadi siswi terbaik sekolah menengah atas di kampungnya, juga tawaran pekerjaan dari sekolah yang menjamin akan berlaku gratis untuk para murid yang memperoleh nilai tertinggi diujian sekolah.

 Matahari tenggelam, dari ufuk barat semburat jingga menyembur tanaman dan bunga yang ada di depan rumah. Ningrum terpaku ditepi jendela kamar, tercium pada aroma tanah yang baru saja diguyur hujan. Di dalam pikirannya hanya teringat sosok seorang laki-laki yang dirindukan. Sesekali melihat gambar yang diselipkan di buku mata pelajaran.
            “Bagaimana aku harus memulainya?. Sementara mereka tidak akan percaya akan hal ini” membatin,
            “Ning, Ibu buatkan nasi jagung kesukaanmu. Ibu tunggu di meja makan” terdengar suara Ibunya, Ningrum lekas menutup buku, bergegas menuju ruang makan. Melihat Ayah dan Ibunya duduk bersama sambil menikmati makanan yang sudah tersaji. Perlahan menyantapnya.
            “Masakan Ibu memang enak, apalagi nasi jagung”
            “Ibu tahu ini makanan kesukaanmu,” ujar Lastri
            “Oh ya Ning sebentar lagi sekolahmu mengadakan perpisahan, Bapak sama Ibu punya rencana untuk menyekolahkan kamu di perguruan tinggi. Kamu persiapkan berkas-berkasnya untuk daftar. Lek Hendro itu anaknya kemaren daftar tapi sudah telat. Bapak takutnya nanti kamu telat kayak anaknya Lek Hendro, siapa itu namanya Bu?, aku lupa” tanya Salim
            “Sigit Pak,” jawab Lastri
            “Iya, Sigit maksudku”
            Ningrum memilih untuk diam dan sekedar mengangguk dengan perasaan remuk. Sorot matanya memandangi wajah ayahnya yang sedari tadi terlihat bahagia, kemudian melahap makanannya tidak sampai habis.
            Seperti biasa setiap pagi Lastri hendak pergi ke pasar. Ada rasa heran ketika Lastri bertemu dengan orang-orang yang dikenalinya tidak seramah seperti sedia kala. Wajahnya terlihat gundah.
            “Kalau tidak bisa mendidik anak ya ujung-ujungnya seperti itu. mau anaknya pintar atau nggak. Soalnya dibebaskan,” ujar teman-temannya di pasar
            “Maklum, ada anak yang waktu masa kecilnya bodoh tapi waktu besarnya menjadi pintar, ada lagi yang dulunya pintar malah menjadi nakal nggak karuan. Ada lagi yag bodoh malah tetaplah bodoh,” timpal perempuan kurus dengan tawa berderai, menarik perhatian sekitar
            Lastri terdiam, tidak lama kemudian ia memberanikan diri untuk bertanya kepada teman di sampingnya.
            “Mereka ngomongin apa Mbak?, sepertinya serius”
            “hmm, gimana ya Las, maaf sebelumnya. Aku mau tanya tapi kamu jangan tersinggung ya. Apa benar anakmu itu hamil dengan Wawan anaknya mantan lurah sekampungmu itu?”

            Mendengar pertanyaan seperti itu hati Lastri robek. Tubuhnya lemas. Kaget lantas memilih untuk segera pulang. Dalam benaknya hanya ada raut wajah anak semata wayangnya. Tergopoh-gopoh ia balik dan meloncat ke sadel sepedanya. Di sepanjang perjalanannya ia tak mempedulikan siapa-siapa. Sesampai rumah air matanya tumpah, Salim bergegas menghampirinya.
            “Lho Bu, kenapa?”
            “Ningrum kemana Pak, aku pengen berbicara sama dia” pinta Lastri. Darahnya semakin naik. Tidak lama kemudian anaknya muncul dengan wajah bingung.
            “Katakan sama Ibu kalau kamu tidak hamil Ning, katakan!” bentak Lastri. tubuh Ningrum gemetar, tiba-tiba bersimpuh memeluk kaki Ibunya. Air matanya terjatuh. Salim memegangi pundak istrinya.
            “Siapa Bapak dari janin yang ada di dalam kandunganmu itu Ning?” tanya Salim, geram
            “Wawan. maafkan Ningrum, Pak, Bu.”

            Keduanya terdiam. Dalam isak, dadanya terus diguncang persoalan yang tengah dihadapi. Air mata Lastri terus meleleh. Yang ia tahu, waktu itu Lastri selalu memberi ijin kepada anaknya untuk belajar bersama dengan teman-temannya, meski siang maupun malam. Dalam situasi buruk seperti itu, orang tuanya memilih untuk mempercepat menyelesaikannya. Mendatangi keluarga dari pihak laki-laki dan menikahkan anaknya. Acara pun tertutup. Setelah beberapa hari pernikahan itu selesai, Salim meminta kepada Lastri untuk mempertemukan dirinya kepada anaknya, Ningrum.

            “Selama ini bapak dan ibumu berusaha menenangkan diri. Kamu lebih memilih perasaanmu ketimbang harapan orang tuamu. Kalaupun kamu ingin menikah, berbicaralah. Tidak seperti ini. Mulai sekarang lebih baik jangan injakkan kakimu lagi di sini” pinta Salim
            “Kalau memang itu yang Bapak dan ibu inginkan, Ningrum akan pergi. Ningrum sangat bersalah karena sudah mengecewakan Bapak sama Ibu. Tapi Ningrum selalu berharap supaya Ningrum bisa kembali lagi dan berkumpul. Ningrum minta maaf Pak, maafkan Ningrum sudah membuat sakit hati. Ningrum menyesal,”

            Menyadari atas kesalahannya, Ningrum tidak bisa berbuat apa-apa selain mengabulkan permintaannya. Ia tahu persis bagaimana perasaan kedua orang tuanya. Di dalam kamar ia menjelaskan kepada suaminya, Wawan. Mengangkat barang-barangnya dan menuju ke rumah mertuanya.
***
            Kepiluan merayapi hati Ningrum. Sejenak memandangi foto yang dipeganginya, kemudian dimasukkan ke dalam koper. Dingin di bulan November membuat Ia selalu terasing tanpa kedua orang tuanya. Kini tiba saatnya mendatangi rumah kedua orang tuanya, setelah setahun setengah meninggalkan rumah sederhana itu.

            Langkah Ningrum sedikit lamban. Sambil menggendong seorang bocah yang sudah tidur terlelap. Ia mengendap seperti hendak mengintai keberadaan seseorang yang ada di dalam rumah. Tiba-tiba telapak tangannya basah. Dilihatnya isi rumah tanpa penghuni. Foto pernikahan Ningrum terpajang di ruang tamu, sementara toko milik keluarganya ditutup.

            “Tenangkan hatimu. Bapak sama Ibu pasti mau menerima kedatangan kita” ujar Wawan, suaminya.
            “Iya, semoga”
            Terlihat seorang perempuan yang rambutnya semakin memutih, membuka pintu kamar. Lantas mendorong kursi roda.
            “Bu,...” ucap Ningrum, tidak sengaja Lastri menangkap tatapan mata anaknya.
            “Ning, Ningrum kan?” mulutnya tergagap, Lastri mendekati. Ningrum kembali meratap. Pelukan seorang Ibu yang selama ini belum pernah dirasakan kini kembali dirasakan.
            “Bapak di mana Bu?”
            “Bapak di kamar. Semenjak kalian meninggalkan rumah, bapak sering sakit-sakitan. Sekarang sedang istirahat di kamar. Bocah cantik yang kamu gendong ini cucuku?” tanya Lastri.
            “Iya Bu, ini cucu Ibu. Pertemukan aku dengan Bapak, Bu”
            Jantung Ningrum semakin berdetak lebih cepat, ingin segera bertemu laki-laki yang sudah membesarkan dirinya. Kedua bola matanya basah ketika melihat Salim tergeletak di atas kasur. Bibirnya terlihat sedikit miring, tubuhnya terlihat lemas.

            “Bapak, maafkan Ningrum” berusaha mendekati Salim dan menyalami, terdengar ucapan Salim yang kini sudah tidak jelas didengar. Air matanya terus jatuh, sementara Wawan, menantunya ikut menyalami serta meminta maaf atas kesalahannya.
            “Bapakmu senang kamu datang, terakhir waktu masih bisa berbicara, ia ingin meminta maaf kepadamu Ning, juga nak Wawan” ucap Lastri
            “Bapak tidak salah, Ningrum yang salah Bu. Ningrum yang sudah mengecewakan Bapak. Maafkan Ningrum sama Wawan ya Pak”
            Suasana menjadi hening, Salim hanya bisa mengisyaratkan dengan kedipan matanya. Bibirnya berkomat-kamit tanpa suara. Dipeluknya laki-laki yang sudah tidak bisa menggerakkan tubuhnya itu. Ningrum berkali-kali mengucapkan permintaan maaf. Lastri berusaha menenangkan anaknya. Hujan datang dengan tiba-tiba.

The End
Yogyakarta, Desember 2013