Luno

berdiri dan terus melangkah tanpa lelah...

Kamis, 12 September 2013

Surat untuk Skoli

Dear Skoli...

Tak perlu menanyakan keberadaanmu karena aku sendiri tahu kau ada di mana. kedatanganmu kali ini menghancurkan semangatku, namun hari demi hari kulewati aku mencoba untuk memahamimu. dengan mencari tahu siapa, bagaimana, mengapa dan apa yang harus aku lakukan agar kau tak lagi ada di dalam benak pikiranku. aku memang belum bisa menerima kenyataan ini, Skoli. siapa yang harus aku salahkan?.

aku lebih memperbanyak menyendiri dan selalu mendekatkan diri kepada Sang Khaliq, selain itu berusaha untuk menyemangati diriku sendiri. aku semakin sadar bahwa aku manusia terpilih dan istimewa. itu sebabnya aku selalu bersyukur atas kehendakNya. dengan seperti ini aku menjadi sering berkaca, dan tak ada orang yang lebih mengerti tentang perasaan seorang manusia yang tak normal seperti yang lainnya.

Skoli, aku tak pernah menginginkan ini terjadi. aku percaya Allah selalu memberikan yang terbaik bagi hambanya. Allah Maha Pemurah dan Penyanyang. dalam diamku, aku selalu berdoa dan berdoa agar aku diberikan kesembuhan. Skoli, aku masih bertahan dengan kondisi seperti ini.

Skoli, mereka (teman-temanku) sangat baik, mereka mau menerima aku apa adanya. mereka menyayangiku bukan karena mereka mengasihiku. mereka sangat tulus. meski jika ada yang mengasihiku seperti itu buatlah aku terus tersenyum dan menerimanya dengan ikhlas dan tidak langsung berkecil hati.

Skoli, tahukah kau?. aku selalu semangat menghadapi hidup ini. aku masih bisa bernafas, Skoli. aku masih bisa melihat dan berjalan. aku selalu bahagia, jangan buat aku dengan kesakitan-kesakitan seperti itu lagi, Skoli. aku berusaha untuk selalu mencintaimu. akan kutulis lembaran-lembaran baru supaya kesehatanku semakin membaik. jika suratku selanjutnya berisi semangat dan semangat lagi, itu pertanda aku akan semakin mencintaimu Skoli.


"Percayalah Allah takkan pernah membiarkan hambanya menjalani masalah dan hidup diduniaNya ini sendiri" :’)

-Dariku, Skolioser


Selasa, 10 September 2013

Seorang Laki-laki di Stasiun



Sudah seminggu aku berada di rumah saudara perempuanku. Dan hari ini aku bersiap-siap pergi meninggalkan kota besar. Kukemasi semua barang-barang yang tergeletak di atas kasur, memasukkannya ke dalam tas ransel berwarna hitam. Mengusir kejenuhan dengan mengunjungi tempat saudara adalah bagian kecil suatu hal yang setahun sekali aku lakukan. Mengingat liburan kuliah sudah ada di depan mata, Setelah menjalani ujian akhir semester. Sementara detik ini kembali lagi ke kota pelajar untuk mengikuti lomba melukis, memberikan berkas-berkas yang sudah aku persiapkan sebagai persyaratan untuk mengikuti lomba, kebetulan di kampusku mengadakan kegiatan untuk mengisi acara pada awal bulan ramadhan  yang diadakan oleh Bem Fakultas.

            “Mengapa buru-buru balik lagi Na, bukannya liburanmu masih lama?,” tanya saudara perempuanku yang tengah sibuk mempersiapkan bekal makanan untukku. Uraian rambutnya sedikit berantakan, setelah itu mencuci kedua tangannya. Memberikan bekal makanannya kepadaku.

            “Ya Mbak, sedikit ada urusan. Bertahan dulu di Jogja, nanti kalau aku pulang ke rumah pasti kukabari, sampean pulang kampung kan?,” sambil merapikan tali sepatuku.

            “Belum tahu, pengennya ya pulang kampung. Masih menunggu kepastiannya dari Masmu. Ini bekalnya buat nanti waktu buka dan sahur di perjalanan. Hati-hati di jalan, sering berdoa lho, di sini itu Jakarta bukan seperti di sana, apalagi kamu perempuan.” ujarnya setelah kuterima bungkusan makanan yang tertata rapi sekaligus dimasukkan ke dalam kantong plastik bergambar bunga mawar.

            “Inggih, salam buat Mas Ipar dan keponakan. Aku berangkat dulu. Oh ya, makasih sudah dibawakan bekal mbak” aku menyalaminya kemudian pamit untuk meninggalkan kota besar, kota metropolitan. Lambaian tangannya terlihat dari kejauhan di depan rumahnya.

            Terus terang aku sangat bahagia bisa mengunjungi saudara perempuanku satu-satunya itu. Kami, aku dan dia sering berbagi cerita. bercerita selama aku menjadi mahasiswa semester tua, juga tentang masa lalunya ketika Ia menjadi mahasiswa dulu. Banyak kutemukan pengalaman-pengalaman hidupnya selama menjadi mahasiswa. Belum lagi semangatnya empat lima untuk memotivasi aku dengan cara gaya bicaranya yang pelan juga setiap kata-katanya yang kesannya tidak menggurui. Selain itu memperkenalkan aku dengan sesuatu yang baru, tidak terlepas dari itu, Ia suka bercerita tentang persoalan hidup. Aku menganggapnya Ia adalah seorang perempuan hebat setelah ibuku.

            Melanjutkan perjalananku sendirian sambil menutup kepalaku dengan lampiran kertas koran. melawan terik panasnya matahari menuju stasiun kota, Kemudian mengikuti jalannya kereta sampai tubuhku dibawa ke stasiun lain untuk pindah tempat tujuan. Tiba di stasiun kedua ini aku menghampiri loket untuk membeli tiket jurusan ke arah Yogyakarta. Tidak sengaja kutemukan bangku kosong di peron stasiun, melepas lelah dengan menurunkan tas ransel kutaruh di bawah kursi, di samping kakiku, duduk dengan tenang sambil mengipas wajahku dengan pelan menggunakan lampiran kertas koran yang kupakai tadi. Setelah menikmati perjalanan empat puluh lima menit dari rumah saudara.

            “Mau kemana Mbak?” tiba-tiba dikagetkan oleh suara seorang laki-laki yang duduk di samping kiriku. Aku tersenyum lantas membalas pertanyaannya.

            “Eh, mau ke Jogja Pak. Bapak sendiri mau kemana?,” mendadak terlintas di otakku sebuah pesan yang baru saja dilontarkan saudara perempuanku sebelum berangkat menuju stasiun ini.

            “Surabaya, asli orang jawa ya Mbak?, tinggal di Jogja?.” kutatap raut wajahnya yang tampak penuh kerut-merut, terlihat gigi depan atas yang terdapat sedikit guratan berwarna coklat, Mungkin saja akibat keseringan merokok, Atau karena yang lain. Rambutnya acak-acakan. Mengenakan celana jeans berwarna hitam kusam, berbaju kemeja kotak-kotak berlengan pendek dan memakai sandal japit. 

Perasaanku campur aduk, antara harus meladeni pertanyaannya ataukah lebih baik mencari alasan lain untuk meninggalkannya pergi. Mencoba menghilangkan rasa ketakutanku sendiri dengan berpikir lama justru membuatku sedikit bingung. Apalagi teringat dengan berita-berita kriminal di media massa yang setiap hari terjadi tindak kejahatan di tempat-tempat seperti ini. “berhati-hatilah kepada orang yang tidak dikenal, sekarang sudah banyak korban pencopetan. Bisa jadi dihipnotis atau dengan memberi minuman untuk mengelabuhi korban agar tidak sadarkan diri” ujar seorang petugas keamanan waktu itu di salah satu berita di media massa, khususnya televisi.

“Iya Pak, tapi tinggalnya tidak di Jogja. Di Jogja hanya sekolah. Bapak dari mana?” lama bapak ini menjawab, batinku. Terus terang ketakutanku tak kunjung mereda. Mendadak aku tengah berhalusinasi negatif. Memperhatikan gerak geriknya. Meski hanya duduk dan kepalanya sedikit menunduk. Memainkan jari-jari tangannya sambil memutar mutarkan selembar kertas yang terlipat menjadi persegi panjang.

“Saya dari Tanjung Priok Mbak, Saya kecopetan di dalam bis waktu mau kesini beli tiket. Turun bus dompet saya sudah hilang. Saya dikasih uang lima ribu sama penjual asongan untuk melapor barang hilang ke kantor polisi. Setelah itu saya disuruh minta tiket gratis ke kepala stasiun, cuman ngga dikasih. Katanya tiket sekarang sudah mahal. Saya bingung Mbak harus kemana lagi. Berkali-kali mengajukan selembar kertas ini ditolak. Sudah dua minggu saya klontang-klantung di sini. Tidak ada saudara sama sekali,” jawabnya dengan mengusap air matanya sendiri.

Aku menelan ludah, tidak bisa membayangkan jika aku sendiri yang mengalaminya. masih saja kusaksikan keramaian disekelilingku. Hanya satu orang yang mengalami musibah namun di sini ada puluhan orang mondar mandir. ada yang sedang membeli tiket, mengantar sanak saudaranya sampai hanya di pintu stasiun. Bapak-bapak beserta orang dewasa menjadi penanggul barang-barang dan masih banyak yang lainnya. Tapi bagaimana mungkin dua minggu menganggur di stasiun tidak melakukan apa-apa, padahal secara fisik bapak ini tidak setua bapak itu yang menjual korannya berkeliling. Lantas apa yang dilakukannya selain meminta bantuan dan duduk seperti ini?. Pikiranku mulai memunculkan pertanyaan-pertanyaan sendiri. Tangannya kulihat masih saja mengucek kedua bola matanya. Memang tidak ada yang tahu kedalaman hati seseorang, apalagi di kota besar seperti orang jarang peduli dengan keadaan orang lain, bahkan mengertipun tidak ingin mau tahu, tak ada sekalipun. Namun lagi-lagi aku merasa was-was.

“Mbak bisa lihat sendiri ini surat tanda barang hilang dari polisi, Demi Tuhan Mbak saya tidak berbohong. Saya sebenarnya malu meminta bantuan orang Mbak, tapi keadaannya memang kayak gini yang memaksakan aku untuk meminta-minta. Seandainya ada orang yang mau meminjamkan uang lima puluh ribu kepada saya Mbak, saya akan mengembalikannya. Saya akan minta nomor rekeningnya trus mentransfer. Kasihan saya Mbak, saya niatnya mau pulang ngasih uang buat anak-anak saya yang masih kecil-kecil. Selain itu Uangnya juga buat bancaan empat puluh harinya istri saya. Sama-sama orang Jawa mbak, saya sangat butuh untuk tambahan ongkos pulang. Terserah sampean mau percaya atau tidak. Memang ya ini kenyataannya mbak. Saya pasti ganti”

aku tediam memandangi lantai keramik berwarna putih. Perasaanku diliputi rasa iba. Di sisi lain antara percaya atau tidak percaya terus ada di dalam benak pikiran. Masih kupegangi secarik kertas yang diperlihatkan kepadaku. Tertulis nama lengkap beserta alamat lengkapnya. Tanda tangan dari pihak kepolisian dan tanda tangannya sendiri. “Ah, bisa jadi ini palsu” gumamku dalam hati. Kuperhatikan lagi setiap gerak geriknya. Dengan perasaan berdebar-debar dan bertanya-tanya aku membuka tas untuk mengambil uang di dalam dompet.

“Sebelumnya maaf ya pak, saya hanya bisa membantu sedikit,” kuberikan selembar uang kertas, uang dua puluh ribu. Untuk mahasiswa sepertiku uang lima puluh ribu sangat besar. Apalagi berpenghuni di kos. Melihat tempat yang aku injak adalah kota besar, Hanya ada segelintir orang yang dapat dipercaya. Lebih baik uang sebesar itu aku masukkan ke dalam kotak sedekah kepada yayasan yatim piatu, karena sudah jelas-jelas uang itu untuk mereka yang sangat membutuhkan. Dalam dadaku sebenarnya menggemuruh. Ada rasa haru dan merasa bersalah yang muncul dengan sendirinya, namun dibalik semua itu ada sedikit rasa tidak percaya. “Semoga bapak ini tidak kecewa, maaf pak tidak bisa membantu sepenuhnya,” ujarku dalam hati.

Kulihat wajah laki-laki ini menampakkan gambaran kekecewaan. Kepalanya kembali menunduk. Memasukkan selembar uang dariku ke dalam tas yang dari tadi ada di atas pangkuannya. Tidak ada senyum sama sekali, mungkin karena uang yang diterimanya tidak seperti apa yang diharapkannya. Aku sendiri bingung apa yang dipikirkan bapak ini. Apakah karena sedih tidak bisa pulang ke tempat kelahirannya, ataukah sedih karena gagal mendapatkan uang yang didapatkan dari korbannya. Pikiranku kemana-mana.

“Terimakasih Mbak, iya ngga apa-apa, Saya tetap terima. Permisi Mbak saya pergi dulu.” Tiba-tiba kedua kakinya melangkah menuju keramaian di jalan dekat loket. Tubuhnya hilang tertutup segerombolan orang-orang yang tengah mengantri membeli tiket. Sengaja aku pindah ke tempat duduk lain. Melirik jam tangan. Setengah jam lagi kereta akan datang. kupandangi seorang lelaki yang sudah renta, di sekitarku Ia memunguti bekas botol minuman, kemudian duduk di depan barisan tempat dudukku.

“Neng, bapak yang tadi duduk di samping neng meminta uang ya, Neng kasih berapa?.” Mataku terbelalak seetelah mendengar pertanyaan seorang laki-laki yang terlihat sudah renta. “Dia bukan asli orang Jawa. Dia orang sini saja, tetangga saya. Sudah sebulan di PHK dari tempak kerjanya. lain kali hati-hati Neng, mendekati lebaran banyak penipu. Saya sudah tua, tidak bisa banyak membantu Neng saat tadi Neng sedang dikelabuhi. Dari tadi hanya bisa memperhatikan dari kejauhan. Takut nanti saya berurusan dengan yang lebih muda.” Belum sempat aku menjawab pertanyaannya laki-laki tua itu meninggalkan tempat duduknya. Menenteng karung besar berisi barang-barang bekas.

“Sudah terlanjur” jawabku lirih,

Jogja, 16 Juli 2013

Senin, 09 September 2013

Hujan dan Kenangan



Malam ini aku sedang membayangkan wajah kalian. Wajah saat kalian berusia tujuh tahun. Saat hujan datang seperti ini, kupejamkan kedua bola mataku dan ku ingat lima belas tahun yang lalu. Salah satu di antara kalian menunjuk langit yang sedang mendung, meski dalam hati sebenarnya aku takut melihat langit berubah menjadi kusam, tidak secerah hari kemarin, tidak sepanas saat matahari memamerkan cahayanya, dan mereka; orang-orang sibuk ada yang berlari menyelamatkan pakaiannya di jemuran, ada yang berusaha memasukkan hewan ternaknya di dalam kandang, dan ada lagi perempuan berusia senja menyuruh kita untuk masuk di dalam rumah. Yah, mungkin perempuan itu tidak ingin melihat tubuh kita disiram air dari langit.

            Saat itu kalian mengajakku duduk di depan rumah tetangga sebelah. Kalian tetap menatap langit yang masih saja gelap. Kalian sahabatku…. Darman dan Kalis. Aku memang ditakdirkan untuk terlahir menjadi seorang perempuan, sedangkan kalian sejatinya adalah seorang laki-laki yang tangguh. Tapi, aku selalu tidak mempedulikan hal itu, kita adalah sahabat…

            “Lus kira-kira hujan nggak?” pertanyaan yang keluar dari bibir mungilmu, Darman…

         “nggak tahu Man, kayaknya sih hujan,” jawabku sambil memperhatikan langit yang seluruhnya menjadi gelap. Mungkin sebentar lagi akan turun hujan. Namun prediksiku tak selamanya benar. Ketika cuaca seperti ini barangkali tidak turun hujan, hanya sekedar menebak.

            “kita nanti hujan-hujanan yuk, aku mau ambil bola dulu,” ajak kalis, segera beranjak berjalan menuju ke rumahnya yang tidak jauh ari tempat duduk kita.

            Ah, saat itu aku benar-benar takut dengan hujan. Terutama takut mendengarkan ibu mengomel sambil menggoreskan koin ke punggungku. Kalau kulitku belum ada yang terlihat merah, pegangan tangannya tidak akan dilepas. Bayangan-bayangan itu selalu menghantuiku. Akan tetapi ketika hujan sudah turun ketakutanku hilang disapu derasnya hujan. Ini pertanda bahwa aku harus merelakan pakaianku basah.

            “sekarang permainannya kita harus bisa memasukkan bola ke dalam gawang, kalau nilainya sedikit pokoknya harus gendong yang nilainya paling banyak,” kata Darman sambil menunjuk gawang, dengan sedikit tertawa.

             “kita setuju”, jawab kalis singkat.

            Bermain bola adalah salah satu permainan terlucu yang pernah aku rasakan, bersama hujan. Bagaimana tidak, aku harus menendang bola dengan kekuatan yang super extra. Ketika bola sudah berada di atas air, susah rasanya untuk menggelinding. Satu-satunya cara agar aku dapat mengambil bola adalah dengan menarik-narik baju sahabatku. Dengan begitu mereka terjatuh dan tertawa melihat tingkahku yang konyol. Apalagi pembatas gawang terkadang dipindah dan sengaja dihilangkan. Sepasang sandal kita jadikan gawang, dengan memberikan jarak tiga langkah. Tak ada yang menang, tak ada yang kalah. Kita memang bermain dengan aneh.

            Setelah bermain bola, satu hal lagi yang tidak bisa aku lupakan. Kita selalu keroyokan untuk mendapatkan air terjun dari genting rumah tetangga. Aku selalu tertawa kalau melihat tingkah kalian. Serasa air terjun yang jatuh itu memijat kepala kita yang lagi pusing. Bukan begitu sahabat kecilku?. Dan sampai saat ini ketika hujan turun, aku tidak akan pernah lupa dengan masa kecilku bersama kalian. Apalagi saat aku belum mengenal banyak tentang persoalan dalam kehidupan, saat aku belum mengenal masalah, dan satu lagi: aku belum mengenal apa itu sebuah keikhlasan dan pengorbanan.
 
            hmmm, memang aku wajib menulis tentang suatu hal-hal yang bersejarah dalam kehidupan ini, Agar aku tidak gampang melupakannya. Satu kata atau dua katapun tak menjadi masalah.
            Sahabat kecilku, bagaimana kabarmu hari ini?
            Di sini aku merindukan kalian…

Djogja, 16 Okt ’12, Kost Anggun.