Luno

berdiri dan terus melangkah tanpa lelah...

Jumat, 10 Mei 2013

Pakaian


            
Sore itu setelah hujan turun dan meninggalkan bekas, aku berjalan menghampiri teman-temanku di depan Gedung Multi Purpose dekat jalan raya di kampusku. Setelah selesai mengikuti jam perkuliahan, Kami seperti biasa berkumpul untuk sekedar membeli jajan ringan dan mengobrol. Aku memilih duduk di paling pinggir diantara mereka bertiga, di bawah pohon beringin yang besar, juga daunnya yang lebat. tempat yang pas untuk berteduh ketika hujan datang, atau ketika seusai hujan malah orang yang duduk di bawah pohon beringin bisa saja dijatuhi tetesan air dari pucuk daun, jika angin menabraknya.

            Aku berusaha menjadi pendengar yang baik. Mereka membicarakan tentang mata kuliah, dilanjut dengan keadaan di organisasi, cara mengajar dosen-dosen, dan yang terakhir tentang tugas-tugas yang membuatnya jenuh. Entah saat itu telingaku sekedar mendengar. namun kedua bola mataku tertuju seorang gadis berkerudung putih, berbaju putih plus berlengan panjang, serta bercelana hitam tak ketat. Sepertinya gadis itu sedang menunggu seseorang. Sebentar-bentar melirik jam di tangan kirinya yang Ia pakai. Pandangannya mencari sesuatu yang belum ditemukan. Jarak denganku tidak begitu jauh. Kira-kira tidak ada dua meter. Ia duduk di depanku. Kulihat Ia beranjak dan berjalan menghampiriku. Pandanganku segera berpindah melihat pedagang asongan di samping jalan. Supaya tidak menimbulkan kecurigaan.

            “permisi Mbak, maaf boleh nitip tas nggak?, saya mau ke kamar mandi sebentar. Nanti saya kesini lagi kok Mbak, lagi buru-buru.” Aku belum sempat menjawab, apalagi mengiyakan. Namun jari-jari tangan kananku sudah memegang tas ransel berwarna hitam miliknya dan jari-jari tangan kiriku memegang stopmap berwarna biru matang. Di cover itu bertuliskan “berkas lamaran pekerjaan.” Aku lihat sosok gadis itu sudah menghilang. Ah, mungkin karena aku duduk paling pinggir dan paling dekat, jadi memilih menitipkan tasnya langsung kepadaku.

            “punya siapa?,” tanya salah satu temanku yang duduk di sampingku.

            “kurang tahu, tadi ada perempuan yang nitip. Katanya mau ke belakang. Nanti juga kembali lagi.” Jawabku datar

            “jangan-jangan isinya bom” celetuk temanku yang satunya lagi sambil nyengir kuda.

            “kalau bom, kamu orang pertama yang aku lemparin tas ini” jawabku. suasana berubah menjadi ramai, kami tertawa kecil.

            Selang waktu sampai lima menit ku lihat gadis itu muncul dari kejauhan. Berjalan sambil membenarkan kerudungnya yang dirasakannya kurang nyaman. Perlahan mendekatiku.

            “makasih ya mbak, maaf sudah merepotkan” sambil menerima tas ransel dan stopmap berwarna biru matang dari genggaman tanganku.

            “iya Mbak, sama-sama” jawabku singkat

            “kuliah di sini Mbak?” melemparkan pertanyaan lagi

            “oh iya Mbak, Mbaknya juga?” kali ini aku yang bertanya

            “nggak Mbak, saya sedang mencari kerja. Kebetulan disuruh menunggu teman di sini”

            tiba-tiba aku seperti ada di dalam mimpi. Aku berusaha mengingat kembali mimpi itu. Tapi usahaku gagal. Terkadang aku pernah berbicara dengan orang ini, di tempat ini, mungkin hanya perasaanku saja. Batinku.

            Suasana tampak lengang, aku memperhatikan gadis yang dari tadi duduk di sampingku. Dan memandangi berkas lamaran pekerjaan yang ada di atas pangkuannya. Ia sibuk memencet keypad Handphonnya.

                                ***

            Aku jadi teringat masa laluku sendiri. Memakai kerudung putih, baju putih plus lengan panjang, juga celana tak ketat. Membawa tas ransel berwarna hitam yang menempel di punggungku. Waktu itu aku baru saja tamat dari bangku Madrasah Aliyah dan meninggalkan Pondok Pesantren di kota yang dikenal makanan khas nasi gandul itu. Aku pikir, aku akan melanjutkan ke jenjang bangku kuliah seperti teman-temanku yang sudah mengabariku atas diterimanya mereka di Universitas yang diimpikan. Dan mimpiku belum sama seperti mereka.

            Aku mulai belajar bersahabat lagi dengan lingkungan baru, hidup di kota metropolitan. Pagi yang cerah itu membuatku untuk berpetualang mencari pekerjaan. Di dalam tas sudah kusediakan surat lamaran serta persyaratan-persyaratan yang lain. Bersama saudara sepupuku laki-laki. Mengelilingi kota yang terkenal macet dan banjir. Pagi pukul tujuh aku harus siap-siap untuk memasuki kereta kelas ekonomi. Sesaknya bukan main. Dalam satu gerbong kereta yang kunaiki dipenuhi manusia-manusia yang berdesak-desakan. Aku seperti berada di dasar laut, lautan manusia. Belum lagi harus mempertahankan kakiku agar tidak tersingkir dari tempat. Karena sudah kehabisan tempat duduk, aku harus rela berdiri dan kedua tanganku harus bergelantungan.

            Aku mengira manusia-manusia akan habis setelah kereta berhenti dari stasiun satu ke stasiun yang lain. Ternyata nasib berkata lain. Manusia-manusia bukan berkurang banyak, justru masuk bertambah banyak. Mempertahankan anggota tubuh agar tidak dihempas gelombang manusia adalah pekerjaan yang melelahkan. Dan ini berlaku setiap hari. Berpetualang dua setengah bulan.

            "Jadi begini kerasnya hidup di kota metropolitan. Jadi begini rasanya mencari pekerjaan di kota besar. Jadi begini susahnya mencari uang. Jadi...," gumamku

            Waktu itu aku sempat minder dengan orang-orang yang sama  mencari pekerjaan. Kita dipertemukan di lokasi itu, dan terdapat berbagai banyak perbedaan. Terutama dari mana asal sekolah. Sekali-kali aku memandangi ijazahku. “Aliyah, dan dari pondok pesantren.” Aku terdiam. Mereka tidak ada yang sepertiku. Mereka justru ada yang dari lulusan Universitas lain. Aku hanya bisa tertunduk lemas, perlahan menelan ludah.

            Setelah menempuh perjalanan dari Bogor ke Manggarai, lanjut naik angkot, belum lagi naik Buaway. Hari-hari berikutnya ke Pasar Minggu, Blok M, Depok, Tebet, dan yang terakhir melamar pekerjaan di Bekasi. Tempat yang paling jauh dan berbeda jalur dengan yang lain. Mencari informasi dan berbagi informasi kepada orang yang sama-sama mencari pekerjaan. Biasanya dilakukan saat seusai tes wawancara. Kami saling tukar menukar nama dan tempat pekerjaan. atau jika ada waktu luang, aku membeli koran lowongan pekerjaan. malamnya harus membuat jadwal untuk mencari pekerjaan hari esok.

            Menunggu panggilan pekerjaan memang sangat membosankan. Menunggu sangat lama. Hampir dua bulan setengah tidak ada kabar. Berdo’a, berdo’a, dan terus berdo’a.

            “Brakkk,” kubanting pintu kamar mandi. Kubuka kerudungku, ku biarkan air mataku meleleh. Tak sanggup menahan letih pada anggota tubuhku, jengkel, sekaligus marah.

            “aku lelah, aku ingin pulang. Aku benci keadaan ini” sambil mengusap air mata.
            Setelah itu keluar dari kamar mandi. Sementara itu selama masih mencari pekerjaan aku hidup bersama saudara perempuanku. Mengetahui kedua bola mataku memerah, dia menasehatiku;

            “beginilah kerasnya hidup, kamu jangan pantang menyerah. Perempuan harus tegar. Kamu sudah dewasa. Nggak boleh cengeng, Masih banyak orang-orang yang tidak seberuntung kamu. Hidup di jalanan. harus bersyukur, sabar.” Dengan nada rendah, saudara perempuanku memperlihatkan senyumnya, sambil menata buku di rak. Tak kuasa air mataku jatuh.

            Entah malamnya,  ini sebuah keajaiban atau memang doaku dikabulkan sudah dikabulkan olehNya. Aku diterima disalah satu perusahaan yang ada di Bekasi. Setelah itu pekerjaan lain menungguku.

            “dua bulan setengah menanti panggilan pekerjaan. Setelah satu panggilan datang, panggilan lain menyerbu. Terimakasih Tuhan.”

              ***

            “ada apa dengan penampilanku Mbak?, aneh ya?,” gadis itu mengagetkanku”.

            “oh nggak Mbak, saya hanya teringat dulu saya pernah memakai pakaian seperti ini” jari telunjukku tiba-tiba menunjuk celana hitam yang dipakai, gerak refleks. dan keperlihatkan senyumku.

           “gitu ya Mbak, duh teman saya sudah datang Mbak. Saya pamit dulu. Maaf mbak tadi ngrepoti.” Gadis itu berdiri menyalamiku.

           “nggak apa-apa Mbak, hehe.” jawabku

           “saya pergi dulu ya Mbak, Assalamu’alaikum”

           “wa’alaikum salam”

Tubuhnya semakin hilang dari penglihatanku. Aku senyum sendiri. Mengingat masa lalu. Membayangkan lagi aku memakai pakaian seperti itu. “kenapa tadi aku tidak bertanya nama dan nomor handphonnya?, siapa tahu aku bisa membantu. Seperti dulu aku selalu mengharapkan untuk mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya dari orang lain, dan berharap ada sebuah pertanyan “boleh minta nomor yang bisa dihubungi?, siapa tahu nanti kalau ada pekerjaan saya kabari”. :D


Djogja, 26 Januari 2012


tempoe doeloe ^_^

1 komentar:

  1. boleh2 tulisannya,...
    tapi disini kamu mencoba bisa mengarungi semua,.. mungkin lebih baik kamu fokus aja dengan satu hal,.. dstu kamu akan menemukan siapa dirimu..

    Ganbatte

    BalasHapus