Ada
yang tidak menyukai bunga melati. Aku pikir bunga melati itu baunya sangat
harum, harumnya melebihi parfum manapun. Berbicara bunga melati pikiranku
langsung tertuju ke simbah. Iya, simbah. Kakaknya nenek (Alm). Waktu usiaku
menginjak tujuh tahun, aku memilih tidur bersama beliau. Aku memangggilnya Mak
Yung. Nama aslinya Maryam. Entah keluargaku memanggilnya dengan sebutan “Mak”
yang artinya “Emak” dan “Yung” yang artinya “tertua” kira-kira seperti itu,
jadi seorang ibu yang tertua. Kata bapak. Asal-asalan. Bagiku beliau adalah
perempuan yang cantik yang kukenal. kulitnya kuning langsat, tubuhnya tinggi
semampai, bau badannya selalu wangi, dan aku suka beliau saat memijit badanku
yang kurus, pun saat ia tertawa.
Kedua orang tuaku selalu sibuk,
saking sibuknya Mak Yung yang merawatku. Dari mulai aku bangun pagi sampai
malam menjelang tidur kembali, Aku selalu didekatnya. Aku anak ketiga dari tiga
bersaudara. Anak pertama kakakku seorang laki-laki, bernama Mas Hudiyanto,
kakakku kedua bernama Kustiah. Selisih umurku dengan kakak pertama dua belas
tahun, sedangkan dengan kakak kedua sepuluh tahun. Jadi tidak heran jika di rumah
selalu ramai karena ulah kami. Tentu saja ketika aku dijahili mereka selalu ada
bidadari cantik yang menolongku. Mak Yung.
Waktu itu ibu pernah bercerita
kepadaku bahwa kehadiranku memang diperuntukkan oleh perempuan yang kian
usianya dimakan oleh waktu. Mak Yung menginginkan seorang bayi perempuan untuk
diasuh di keluarga kami. Ibu menyadari karena memang Mak Yung tidak punya anak.
Suaminya sudah lama meninggal. Jarak antara rumahnya dan rumahku sangat jauh.
Randublatung-Kedungtuban. Suaminya meninggal karena sakit, entah aku sendiri
tidak pernah menanyakan beliau meninggal karena sakit apa. Aku hanya pernah
melihat foto-foto yang usang waktu pasca pemakamannya. Dan pernah diajak Mak
Yung ke makamnya. Waktu itu memang aku masih kecil, masih sekitar umur
tujuh-delapan tahunan. Di batu nisan itu bertuliskan “Sampan” dan para
tetangganya waktu itu memanggil “Sukro Dikromo Sampan.” Beliau adalah mantan
lurah di desanya.
Semenjak itu aku sering melihat Mak
Yung pulang pergi menuju Randublatung-Kedungtuban. Ketika Mak Yung kembali ke
Randublatung aku tidur bersama nenek. Kadang juga sering diajak kesana,
diperkenalkan keluarga dan kerabat. Mereka ramah dan baik. Di sana banyak
kutemukan pohon jati, jalan bebatuan, belalang raksasa, kepompong, dengungan
suara anjing, dan sama sekali tidak ada listrik. Desa itu bernama ‘Smengko’.
Pelosok dan jauh dari kota. Aku suka desa itu karena asri dan banyak
tumbuh-tumbuhan. Dan biasanya ketika kami sedang kumpul, kami tidak pernah
melewatkan minum kelapa muda. Di sana memang banyak tumbuh pohon kelapa.
Mak Yung mempunyai kebiasaan yang
menurutku aneh. Ia sering ‘nginang’ bibirnya selalu berwarna agak merah
kemerahan, kadang juga berwarna orange. Ia seperti mempunyai senjata. Setiap
hendak akan pergi keluar rumah, tidur, bangun tidur, usai makan, pasti selalu
membuka kotak kecil berisi daun sirih, irisan tipis-tipis tembakau yang tidak
terlalu kering, kapur sirih, gambir. Meraciknya lalu memasukkannya ke dalam
mulut. Giginya seperti biji timun, rapi dan sama sekali belum ada yang hilang.
Jika dibandingkan dengan nenek (adiknya) giginya bisa dihitung dengan jari
telunjuk, terlihat masih ada beberpa yang telihat. Karena memang hanya Mak Yung
yang nginang. Dan saat meludah tentu ludahnya akan berwarna orange, kang merah
merona.
Ada satu hal yang tidak akan pernah
aku lupakan. Mak Yung sering mengambil bunga melati yang tumbuh di depan rumah.
jika kedua bola matanya itu melihat bunga melati, selalu saja mengambilnya dan
menaburkannya di atas ranjang tempat tidur. Tentu saja membuatku
bertanya-tanya.
“Untuk apa Mak?” tanyaku penasaran
“Biar Wangi” katanya
Jadi setiap kali mau tidur, aku
terkadang merasa risih karena bunga melati yang ada di bawah tubuhku seperti
semacam kertas yang dirobek-robek tak beraturan lalu disebarkan kemana-mana.
Namun aku berusaha untuk tidak banyak tanya. Aku nikmati baunya yang kian
mewangi. Tidak hanya itu, Mak Yung juga sering menyelipkan beberapa bunga
melati ke dalam rambutnya yang disanggulnya. Semenjak itu aku ikut mencintai
bunga melati.
Saat bunga melati yang disebarkan di
atas tempat tidur itu berubah menjadi layu dan berubah warna menjadi agak
kecoklatan, seketika itu Mak Yung menggantikan bunga melati yang baru. Aku
kadang heran kenapa bunga melati di depan rumah selalu tumbuh dan terlihat muncul
banyak.
“Mak, kan masih ada bunga selain
bunga melati tho?,” tanyaku dengan sedikit heran karena tidak henti-hentinya
Makyung selalu metik bunga itu, lalu ia menjawab dengan nada rendah, “Kalau
bunga mawar banyak durinya, jadi susah ngambilnya. Mending bunga melati” begitu
jawabannya. Aku menarik kesimpulan, bahwa memang ada yang lebih mudah diambil
kenapa harus mempersulit diri untuk memilih yang lain?. Selama bunga melati
membuat Mak Yung nyaman, ia tidak akan pernah menggantikannya dengan bunga
manapun. Ah, aku menafsirkannya terlalu lebay. Tapi memang kenyataannya begitu
Mak, seperti Mak yung dan bunga melati, akan selalu melekat di dalam memoriku
pun tidak akan ada yang bisa menggantikannya oleh apapun dan siapapun.
Hari selalu berjalan. Entah sejak
kapan aku mulai merasa bahwa bagiku ulang tahun bukan lagi sesuatu yang
membahagiakan ataupun sesuatu yang spesial. Masih sama seperti hari-hari
biasanya. Usia tidak lebih hanyalah sebuah simbol. Diusiaku yang Tujuh tahun,
delapan tahun, lalu sembilan tahun. Aku melihat dan merasakan kedekatan dengan
Mak Yung yang begitu mendalam. Ia sudah kuanggap menjadi ibu sekaligus bapak.
Merawatku dengan kasih sayang. Hingga suatu hari aku terpaksa tidak bisa
membendung air mataku yang menggantung lalu terjatuh. Aku orang pertama kali
yang menaburkan bunga melati di atas gundukan tanah yang kering. Tertulis batu
nisan “Maryam binti Munawi”
Berjam-jam aku menangisi
kepergiannya. Mereka, tetanggaku manahan tubuhku supaya tidak terjadi sesuatu
hal yang tidak diinginkan. Kemudian mereka melepasku dan aku kelesetan di bawah
tempat tidur, menangis... dan menangis. Sebelum jenazahnya dibawa ke pemakaman,
mereka berusaha menenangkan diriku. Hingga hatiku menjadi luluh dan tenang.
“Sing sabar, doakan yang terbaik
buat Mak Yung, Nduk” begitu nasehat yang muncul dari tetangga sebelah. Kenangan
bersama Mak Yung selalu datang silih berganti. Selalu memutar di kepalaku. Aku
ingat saat beliau menyuapi aku makan, memandikan, membelikan dan memakaikan
perhiasan kepadaku, juga memarahi kedua kakakku saat mereka menjahiliku. Dan
yang paling utama saat aku ikut memetik bunga melati lalu ikut menaburkannya di
atas tempat tidur. Pelukan perempuan yang berbadan wangi kini telah
meninggalkanku.
Keluarga dan kerabat dari
Randublatung ikut berkabung. Suasana sunyi. Sebelum Mak Yung meninggalkan kami,
Mak Yung berpesan kepada ibu untuk dimakamkan di Kedungtuban. Sakit diabetes
yang dideritanya cukup membuat hati kami untuk selalu menjadi sabar dalam
merawat Mak Yung. Keinginan keluarga dari Kedungtuban untuk merawatnya
dikabulkan oleh pihak dari keluarga Randublatung. Dan kami merasa tenang karena
pesan Mak Yung sudah kami kabulkan.
Sejak itu aku tidak bisa melupakan
harumnya bunga melati. Setiap hendak tidur aku mengambil bunga melati dan
kutaburkan di atas ranjang. Ibu memandangku dengan hati terbelah. Kadang saat
bunga melati kian tumbuh dan semakin banyak, aku mengumpulkannya lalu kuambil
jarum dan benang untuk merangkainya, kujadikan sebuah kalung dan kutaruh
disampingku saat tidur.
Di saat aku mulai beranjak dewasa
dan pergi meninggalkan rumah untuk merantau, sebagai gantinya aku membeli
minyak melati dan mengoleskannya dibadanku sebelum tidur. Supaya aku tetap
merasakan kehangatan tubuhnya Mak Yung. Sampai sekarang aku mempunyai kebiasaan
sebelum tidur menyemprot parfum di sekitar tubuhku, meski terkadang aku
kehabisan minyak melati. Sekiranya parfum dapat menggantikan harumnya bunga
melati yang sifatnya hanya sementara. Aku selalu tidak peduli dan membalas
senyum mereka, keluargaku dan temanku, bingung karena kebiasaanku memakai
minyak wangi sebelum tidur, aku hanya merasa tenang setiap akan tidur mencium
aroma wangi-wangian. Jika Mak Yung kuanggap mempunyai hobi yang aneh, yaitu
nginang. Maka aku mempunyai hobi yang aneh juga seperti menyemprotkan parfum di
tubuhku sebelum tidur. Saat ini aku merindukannya, semoga amal dan ibadahnya
diterima di sisiNya. Di tempatkan di surga. Amien
(Gambar: Bunga melati. sumber: saya ambil diinternet)