Di
ruang makan, Ningrum duduk sambil mengamati sepiring nasi jagung yang ada di
atas meja. Air matanya merebak dengan hati terbelah. Ingatannya tertuju kedua
orang tuanya yang sudah lama tak diketahui keadaannya. Sesekali memejamkan mata
dan menyeka air matanya sendiri dengan menggunakan lengan daster yang
dikenakan. Suara sesenggukan pun
memecahkan keheningan. Gerimis di bulan November masih awet, setiap sore
menjelang malam kampung yang ada di bawah kaki gunung ini tak henti-hentinya
diliputi gerimis. Ningrum beranjak dari tempat duduknya, dengan langkah berat
menuju kamar tidur.
“Rum, nasi jagungnya nggak kamu
makan?,” tanya Wawan, suaminya. Sekilas memandangi sepiring nasi jagung di atas
meja yang masih utuh, kemudian melangkah menghampiri Ningrum yang ada di dalam
kamar. Sampai di pintu kamar dilihatnya perempuan yang berambut lurus dan
panjang itu sibuk memasukkan pakaiannya ke dalam koper.
“Lho, kamu mau kemana, Rum?. Kenapa
menangis?” mendapati matanya basah, Wawan berusaha menenangkan istrinya. Mengelus
pundak perempuan itu dan mengusap air matanya.
“Aku sangat merindukan mereka,” air
matanya terus mengucur. menutup koper dan meletakkannya di samping almari.
Keduanya saling memandang. Ada secercah harapan yang terlihat di bola mata
perempuan yang sedari tadi meneteskan bulir-bulir air mata.
‘Yah, antarkan aku untuk bertemu
Bapak dan Ibu, aku mohon” wajah perempuan itu nampak memelas. Di ujung
jari-jari tangannya terlihat gemetar. Pandangan kedua bola matanya kian meredup.
“Besok ya Rum, ini sudah malam, Di
luar dingin. Lihat kondisi dan anak kita sekarang yang masih kecil” ada rasa
iba ketika melihat istrinya menangis sesenggukan.
***
Ningrum,
nama panggilan gadis bermata sayu, berkulit kuning langsat dilahirkan oleh
perempuan bernama Lastri yang setiap harinya menjual sayuran keliling di
kampungnya. Ayahnya Salim, laki-laki berbadan tegap, perutnya buncit, bekerja
disebuah toko yang baru saja dibangun, menjual peralatan pertanian sekaligus
menyediakan pupuk. Keduanya pedagang. semangatnya untuk menyekolahkan anak
satu-satunya tidak pernah padam. Cita-citanya hanya sederhana, mereka ingin
Ningrum sekolah sampai di bangku perguruan tinggi, kemudian mengabdi menjadi
guru di kampungnya. melihat krisisnya para pendidik yang mengajar, setelah
melihat orang-orang yang tamat dari perguruan tinggi memilih untuk meninggalkan
kampung dan menikmati hidup di kota.
“Anakmu itu pintar, selalu dapat
ranking di sekolah. Setelah perpisahan sekolah nanti pengennya mau bekerja apa
kuliah?,” tanya perempuan berbadan gempal, pembeli yang tidak jauh dari
rumahnya.
“Pengenku ya sekolah lagi, Yu. Masih
diusahakan ini nyari uangnya, masuk kuliah butuh uang banyak. Aku juga belum
ngomong langsung sama anakku,” wajah Lastri nampak bahagia. Senyumnya merekah.
Setiap usai terdengar ayam berkokok,
pagi petang perempuan yang sudah berkepala empat ini dengan rutin pamit kepada
suaminya untuk pergi kulakan di
pasar. Dengan menggunakan sepeda onthel kesayangannya, Lastri rela menempuh
jalan berkelok dan penuh lubang. Sampai pasar tradisional, ia membeli sayuran
ke tengkulak. Lastri dikenal perempuan yang pandai bergaul sekaligus murah
senyum, sehingga tidak sedikit orang yang tidak mengenalnya.
Setiap hari menjualkan dagangannya
dengan berkeliling antar desa. Dengan bermodalkan suara untuk memanggil
tetangganya, Lastri bisa mendapatkan uang. Meski terkadang masih ada beberapa
orang yang tidak berbelanja, juga berbelanja namun berhutang kepadanya.
Setiap
kali Lastri bertemu orang-orang di kampung, ia selalu dihujani
pertanyaan-pertanyaan tentang anak perempuan satu-satunya itu. pujian-pujian
sering datang masuk ke dalam telinga. Mereka bangga melihat keberhasilan
Ningrum, keberhasilan seorang gadis manis yang memperoleh predikat menjadi
siswi terbaik sekolah menengah atas di kampungnya, juga tawaran pekerjaan dari
sekolah yang menjamin akan berlaku gratis untuk para murid yang memperoleh
nilai tertinggi diujian sekolah.
Matahari tenggelam, dari ufuk barat semburat
jingga menyembur tanaman dan bunga yang ada di depan rumah. Ningrum terpaku
ditepi jendela kamar, tercium pada aroma tanah yang baru saja diguyur hujan. Di
dalam pikirannya hanya teringat sosok seorang laki-laki yang dirindukan.
Sesekali melihat gambar yang diselipkan di buku mata pelajaran.
“Bagaimana aku harus memulainya?.
Sementara mereka tidak akan percaya akan hal ini” membatin,
“Ning, Ibu buatkan nasi jagung
kesukaanmu. Ibu tunggu di meja makan” terdengar suara Ibunya, Ningrum lekas
menutup buku, bergegas menuju ruang makan. Melihat Ayah dan Ibunya duduk
bersama sambil menikmati makanan yang sudah tersaji. Perlahan menyantapnya.
“Masakan Ibu memang enak, apalagi
nasi jagung”
“Ibu tahu ini makanan kesukaanmu,”
ujar Lastri
“Oh ya Ning sebentar lagi sekolahmu mengadakan
perpisahan, Bapak sama Ibu punya rencana untuk menyekolahkan kamu di perguruan
tinggi. Kamu persiapkan berkas-berkasnya untuk daftar. Lek Hendro itu anaknya
kemaren daftar tapi sudah telat. Bapak takutnya nanti kamu telat kayak anaknya
Lek Hendro, siapa itu namanya Bu?, aku lupa” tanya Salim
“Sigit Pak,” jawab Lastri
“Iya, Sigit maksudku”
Ningrum memilih untuk diam dan sekedar mengangguk dengan
perasaan remuk. Sorot matanya memandangi wajah ayahnya yang sedari tadi
terlihat bahagia, kemudian melahap makanannya tidak sampai habis.
Seperti biasa setiap pagi Lastri hendak pergi ke pasar.
Ada rasa heran ketika Lastri bertemu dengan orang-orang yang dikenalinya tidak
seramah seperti sedia kala. Wajahnya terlihat gundah.
“Kalau tidak bisa mendidik anak ya ujung-ujungnya seperti
itu. mau anaknya pintar atau nggak. Soalnya dibebaskan,” ujar teman-temannya di
pasar
“Maklum, ada anak yang waktu masa kecilnya bodoh tapi
waktu besarnya menjadi pintar, ada lagi yang dulunya pintar malah menjadi nakal
nggak karuan. Ada lagi yag bodoh malah tetaplah bodoh,” timpal perempuan kurus
dengan tawa berderai, menarik perhatian sekitar
Lastri terdiam, tidak lama kemudian ia memberanikan diri
untuk bertanya kepada teman di sampingnya.
“Mereka ngomongin apa Mbak?, sepertinya serius”
“hmm, gimana ya Las, maaf sebelumnya. Aku mau tanya tapi
kamu jangan tersinggung ya. Apa benar anakmu itu hamil dengan Wawan anaknya
mantan lurah sekampungmu itu?”
Mendengar pertanyaan seperti itu
hati Lastri robek. Tubuhnya lemas. Kaget lantas memilih untuk segera pulang. Dalam
benaknya hanya ada raut wajah anak semata wayangnya. Tergopoh-gopoh ia balik
dan meloncat ke sadel sepedanya. Di sepanjang perjalanannya ia tak mempedulikan
siapa-siapa. Sesampai rumah air matanya tumpah, Salim bergegas menghampirinya.
“Lho Bu, kenapa?”
“Ningrum kemana Pak, aku pengen
berbicara sama dia” pinta Lastri. Darahnya semakin naik. Tidak lama kemudian
anaknya muncul dengan wajah bingung.
“Katakan sama Ibu kalau kamu tidak
hamil Ning, katakan!” bentak Lastri. tubuh Ningrum gemetar, tiba-tiba bersimpuh
memeluk kaki Ibunya. Air matanya terjatuh. Salim memegangi pundak istrinya.
“Siapa Bapak dari janin yang ada di
dalam kandunganmu itu Ning?” tanya Salim, geram
“Wawan. maafkan Ningrum, Pak, Bu.”
Keduanya terdiam. Dalam isak,
dadanya terus diguncang persoalan yang tengah dihadapi. Air mata Lastri terus
meleleh. Yang ia tahu, waktu itu Lastri selalu memberi ijin kepada anaknya
untuk belajar bersama dengan teman-temannya, meski siang maupun malam. Dalam
situasi buruk seperti itu, orang tuanya memilih untuk mempercepat
menyelesaikannya. Mendatangi keluarga dari pihak laki-laki dan menikahkan
anaknya. Acara pun tertutup. Setelah beberapa hari pernikahan itu selesai,
Salim meminta kepada Lastri untuk mempertemukan dirinya kepada anaknya, Ningrum.
“Selama ini bapak dan ibumu berusaha
menenangkan diri. Kamu lebih memilih perasaanmu ketimbang harapan orang tuamu.
Kalaupun kamu ingin menikah, berbicaralah. Tidak seperti ini. Mulai sekarang
lebih baik jangan injakkan kakimu lagi di sini” pinta Salim
“Kalau memang itu yang Bapak dan ibu
inginkan, Ningrum akan pergi. Ningrum sangat bersalah karena sudah mengecewakan
Bapak sama Ibu. Tapi Ningrum selalu berharap supaya Ningrum bisa kembali lagi
dan berkumpul. Ningrum minta maaf Pak, maafkan Ningrum sudah membuat sakit
hati. Ningrum menyesal,”
Menyadari atas kesalahannya, Ningrum
tidak bisa berbuat apa-apa selain mengabulkan permintaannya. Ia tahu persis
bagaimana perasaan kedua orang tuanya. Di dalam kamar ia menjelaskan kepada
suaminya, Wawan. Mengangkat barang-barangnya dan menuju ke rumah mertuanya.
***
Kepiluan
merayapi hati Ningrum. Sejenak memandangi foto yang dipeganginya, kemudian
dimasukkan ke dalam koper. Dingin di bulan November membuat Ia selalu terasing
tanpa kedua orang tuanya. Kini tiba saatnya mendatangi rumah kedua orang
tuanya, setelah setahun setengah meninggalkan rumah sederhana itu.
Langkah Ningrum sedikit lamban.
Sambil menggendong seorang bocah yang sudah tidur terlelap. Ia mengendap seperti
hendak mengintai keberadaan seseorang yang ada di dalam rumah. Tiba-tiba
telapak tangannya basah. Dilihatnya isi rumah tanpa penghuni. Foto pernikahan
Ningrum terpajang di ruang tamu, sementara toko milik keluarganya ditutup.
“Tenangkan hatimu. Bapak sama Ibu
pasti mau menerima kedatangan kita” ujar Wawan, suaminya.
“Iya, semoga”
Terlihat seorang perempuan yang
rambutnya semakin memutih, membuka pintu kamar. Lantas mendorong kursi roda.
“Bu,...” ucap Ningrum, tidak sengaja
Lastri menangkap tatapan mata anaknya.
“Ning, Ningrum kan?” mulutnya
tergagap, Lastri mendekati. Ningrum kembali meratap. Pelukan seorang Ibu yang
selama ini belum pernah dirasakan kini kembali dirasakan.
“Bapak di mana Bu?”
“Bapak di kamar. Semenjak kalian
meninggalkan rumah, bapak sering sakit-sakitan. Sekarang sedang istirahat di
kamar. Bocah cantik yang kamu gendong ini cucuku?” tanya Lastri.
“Iya Bu, ini cucu Ibu. Pertemukan
aku dengan Bapak, Bu”
Jantung Ningrum semakin berdetak
lebih cepat, ingin segera bertemu laki-laki yang sudah membesarkan dirinya.
Kedua bola matanya basah ketika melihat Salim tergeletak di atas kasur.
Bibirnya terlihat sedikit miring, tubuhnya terlihat lemas.
“Bapak, maafkan Ningrum” berusaha
mendekati Salim dan menyalami, terdengar ucapan Salim yang kini sudah tidak
jelas didengar. Air matanya terus jatuh, sementara Wawan, menantunya ikut
menyalami serta meminta maaf atas kesalahannya.
“Bapakmu senang kamu datang,
terakhir waktu masih bisa berbicara, ia ingin meminta maaf kepadamu Ning, juga
nak Wawan” ucap Lastri
“Bapak tidak salah, Ningrum yang
salah Bu. Ningrum yang sudah mengecewakan Bapak. Maafkan Ningrum sama Wawan ya
Pak”
Suasana menjadi hening, Salim hanya
bisa mengisyaratkan dengan kedipan matanya. Bibirnya berkomat-kamit tanpa
suara. Dipeluknya laki-laki yang sudah tidak bisa menggerakkan tubuhnya itu. Ningrum
berkali-kali mengucapkan permintaan maaf. Lastri berusaha menenangkan anaknya.
Hujan datang dengan tiba-tiba.
The End
Yogyakarta, Desember 2013