“Aku tidak
menginginkan ini terjadi, namun hati selalu tahu di mana ia mulai berlabuh, berhenti, dan
menempatkannya di tempat yang tepat”
Paulo Coelho dalam novelnya yang berjudul By The
River Piedra I Sat Down and Wept menceritakan tentang seorang gadis yang tengah
bergejolak dengan perasaannya sendiri. Bayangan masa lalu bersama seorang
laki-laki yang dicintainya selalu datang menghampiri, bertahun-tahun keduanya
tidak pernah bertemu, hingga suatu hari mereka dipertemukan disebuah acara. Dan
ada apa yang terjadi dengan mereka?. Tentu ada beberapa hal yang menurutku sangat menarik
dicerita itu. namun bagaimanapun aku beranggapan benar yang ditulis Paulo
bahwa; Cinta adalah perangkap. Ketika ia muncul, kita hanya melihat cahayanya,
bukan sisi gelapnya.
Karya Mustafa Lutfi Al Manfaluthi tidak kalah menarik,
dalam novelnya yang berjudul Sang Penyair membuatku tersenyum sendiri ketika
membacanya. Seorang laki-laki yang mencintai gadis cantik secara diam-diam. Bahkan
ia menaruhkan nyawanya dan berada di dalam kepura-puraan. “bila cinta hanya
diukur dan dilihat dari segi fisik, dari segi materi, maka betapa banyak
korban-korban cinta. Betapa bumi akan dipenuhi dengan air mata kesedihan dan
penyesalan. Betapa banyak pena yang diperlukan untuk menulis ratapan sedih
maupun kutukan. Dan betapa banyak jiwa-jiwa yang merana,” begitulah
kalimat-kalimat yang dikatakan Mustafa di dalam sinopsisnya.
Kali ini entah aku sebagai manusia dengan berjenis
perempuan terkadang enggan menulis tentang isi perasaanku sendiri, terlebih
masuk dalam persoalan cinta. Bagiku cinta tidak pernah salah. Ada kombinasi
antara perasaan dengan lawan jenis yang menurutku memang sulit diartikan. Bahkan
acap kali keraguan selalu datang tak terduga.
Hidup selalu penuh dengan kejutan. Ada beberapa orang yang beranggapan ketika sudah memasuki ranah sekeliling
laki-laki dan perempuan, maka orang akan berucap bahwa dalam seketika kata
cinta itu akan keluar dengan sendirinya. “itu siapa?, kekasihmu kah?.” Ini contoh
kecilnya saja.
“Aku pernah jatuh cinta, aku berhasil menyimpannya dengan
baik. Namun aku gagal mempertahankannya” lebih tepatnya seperti itu. ada
saatnya manusia mampu berpikir jenih, atau justru sebaliknya. Tingkatan emosi
yang terkadang meledak-ledak, atau justru sebaliknya lagi. Dari semua kegagalan
itu, sebagai manusia hanya bisa mempelajari semua yang bisa dipelajari,
selebihnya menghadapi.
Di dunia ini yang paling indah adalah menyimpan. Sebab dengan
menyimpannya, orang tidak akan tahu sampai benar-benar menemukannya. Dengan menyimpan,
kita bisa lebih sering berdoa dengan harapan-harapan yang baik kepada Dia Yang
Maha Indah. Kepada jarak dan kepada waktu kita akan mendapatkan jawaban. Apapun
jawabannya, yang terpahit akan dirasakan manis jika mengikhlaskannya, dan yang
termanis akan dirasakan manis jika selalu mensyukurinya. Namun, bagaimana jika
yang termanis berubah menjadi pahit?. Jawabannya masih ada sabar dan tenang.
Meninggalkan orang yang kita sayangi bukan perkara mudah,
dan mencintai orang yang kita cintai bukan suatu perkara. Namun bagaimana jika
orang yang kita cintai dengan terpaksa kita tinggalkan dengan tiba-tiba?. Ada di
mana seorang perempuan sepertiku tidak melulu menggunakan perasaannya, namun
bagaimana menggunakan logika. Memilih untuk pergi sejauh mungkin tanpa
mempedulikan perasaannya, karena akan lebih baik mengalah ketimbang
mempertahankannya dengan penuh keragu-raguan, mencoba untuk diam ketika dirasa
tidak penting, dan mendoakannya dengan kebaikan-kebaikan.
Penasaran yang paling terindah di dalam hidup ini adalah
ketika mampu memikirkan kapan kematian akan datang, seberapa rezeki kedepannya
yang akan di dapat, di manakah kita akan bertemu dengan jodoh kita, dan takdir.
Di saat itulah sebagai manusia hanya mampu berikhtiar, berusaha dan berdo’a.
Kesendirian memang tidak pernah terlepas dari kesepian. Manusia
diciptakan untuk kembali diposisi yang sepi lagi sunyi. Selanjutnya masih
ada kehidupannya lain yang akan menunggu. Ketika sudah melewati fase dewasa,
manusia akan menyisihkan segala sesuatu yang bersikap kekanak-kanakan. Hingga suatu
hari saat umur semakin bertambah, kulit semakin berkeriput, penglihatan mata
semakin buyar, maka saat itulah dikemudian hari akan kembali menjadi anak-anak.
Tentang hati, kita tidak bisa menebak dengan
seenaknya. Tentang sebuah harapan, kita hanya bisa berharap kepadaNya, dengan
cinta biarkan hanya aku dan Tuhan yang tahu. Lalu biarkan aku menyimpannya dan
mengatakannya "iya" di waktu yang tepat.
Djogja, 7 Oktober 2014